Minggu, 26 Juli 2009

Situs [aikon!]N. RIANTIARNO -TEATER KOMA HUMOR SOSIAL POLITIK GAYA INDONESIA Gedung Kesenian Jakarta 24-25 September 2001, pukul 20.00 WIB

Situs [aikon!]N. RIANTIARNO -TEATER KOMA
HUMOR SOSIAL POLITIK GAYA INDONESIA
Gedung Kesenian Jakarta
24-25 September 2001, pukul 20.00 WIB
Lakon : Presiden Burung-burung
Karya/Sutradara : N Riantiarno
Asisten Sutradara : Idries Pulungan dan O'han Adiputra
Penata Artistik : Rudjito
Penata Musik : Idrus Madani
Penata Cahaya : Tasch Budiarto
Penata Gerak : Ratna Ully
Penata Suara : Totom Kodrat
Penata Busana : Alex Fatahillah
Penata Rias & Rambut : Sri Dadi Adhipurnomo
Penata Multi Media : Idries Pulungan
Pimpinan Panggung : Sari Madjid
Pimpinan Produksi : Ratna Riantiarno
Para Pemain : N Riantiarno, Ratna Riantiarno, Syaeful Anwar,
Rita Matu Mona, Idries Pulungan, Dudung Hadi, Budi Ros, Alex Fatahilah, Sri Dadi
Adhipurnomo, Emanuel Handoyo, Dorias Pribadi, Asmin TM, Daisy Kojansow, Ratna
Ully, dan lain-lain.
Alkisah, Sebuah Negeri. Sejarah terulang kembali. Chaos, kerusuan massal,
rebutan pengaruh dan kekuasaan, krisis kepercayaan. Dan rakyatpun menuntut
tanggungjawab sang penguasa yang baru saja lengser.
Sebuah Negeri. Sekitar 30 tahun lalu, dia mengambil alih kendali kekuasaan.
Kemudian, dia berkuasa mutlak. Dia dianggap dalang berbagai penculikan dan
pembunuhan para aktivis pro-kebebasan. Selama 30 tahun dia menumpuk harta. Tapi
kini, dia hanya kakek renta yang suka bersandiwara dengan kursi roda. Kini dia
cuma mantan presiden yang memiliki banyak burung yang setia. Hanya
kenang-kenangan masa lalu, jadi penghiburnya. Kini, dia hanyalah Presiden bagi
burung-burungnya.
Sebuah Negeri. Dia sendiri. Ditinggalkan. Dihindari seperti cacar. Dilupakan.
Semua yang dia cintai, pergi. Sisa hidup cuma sia-sia.
Rahwana Masih Hidup. Rahwana ("Darah dari Dalam Rimba") tidak mati. Maharaja
Kejahatan yang paling ditakuti dan paling dikutuk itu, menderita karena tubuhnya
digencet dua bukit kemdar. Hanya kepalanya yang nampak. Tapi rahwana, yang juga
disebut Dasamuka (Sepuluh Muka), masih mencoba menggertak dunia. Sumpahnya
dengan kegeraman yang amat dalam; "Akulah Rahwana. Dasamuka. Aku sepuluhj
keburukan watak manusia yang menyatu didalam kecebong sperma. Aku
melayang-layang, mengambang di udara mencari mangsa. Aku berusaha menyatu dengan
jiwa manusia, bersarang di rahim nurani. Aku pejantan yang membuahi syahwat. Aku
berjuta gelembung, memancar dari dalam kepalaku yang sengsara. Aku jiwa yang
kecewa, penuh benci. Aku marah dan tidak sudi diremehkan. Aku ingin, apa yang
sekarang kuderita, juga harus diderita manusia. Oo, aku takut sendirian. Aku
tidak ingin dilupakan…"
Dia Rahwana. Dia mengubah diri jadi berjuta-juta gelembung tak nampak. Dia
spirit hitam yang selalu mempengaruhi kita. Hingga kini. Tapi, siapakah Rahwana?
Siapakah Dasamuka? Siapa dia? Siapa kita?
N Riantiarno, aktor, penulis, sutradara. Lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni
1949. Menggeluti teater mulai 1965, di Cirebon. Melanjutkan kuliah di Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI). Kemudian bergabung dengan Teguh Karya dan ikut
mendirikan Teater Populer, 1968.
Mendirikan Teater Koma, 1977. Hingga kini, 2001, sudah menggelar 94 produksi
panggung maupun televisi. Beberapa produksi panggung penting yang disutradarai
antara lain: Rumah Kertas, Maf-Maaf-Maaf, J.J., Kontes 1980, Bom Waktu, Suksesi,
Opera Kecoa, Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat,
Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Rumah Sakit Jiwa, Opera Ular
Putih, Semar Gugat, Cinta Yang Serakah, Opera Sembelit, Samson Delilah, dan
Republik Bagong. Semua itu adalah karyanya, yang mendapat sambutan hangat
masyarakat dan pers.
Koma tercatat sebagai kelompok paling produktif di Indonesia. Dalam setahun,
paling kurang dua kali pagelaran. Kalau tidak memainkan naskah sendiri, ya
memain karya-karya adaptasi penulis dunia. Diantaranya Woyzek/ Buchner, Opera
Ikan Asin/ Bertolt Brecht, Opera Salah Kaprah/ Shakespeare, Opera Para Binatang/
George Orwell, Orang Kaya Baru/ Moliere, Wanita-wanita Parlemen/ Aristophanes,
dan Perkawinan Figaro/ Beaumarchaise.
Didalam almari Nano, panggilan akrabnya, tersimpan berbagai penghargaan dari
dalam negeri: untuk bidang penulisan skenario sandiwara, film, sinetron, drama
anak-anak maupun novel. Termasuk Hadiah Seni 1993, dari Pemerintah Republik
Indonesia melalui Departemen P dan K. Serta Penghargaan Sastra Indonesia 1998
dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Nano, juga aktif dalam pergaulan internasional. Baik dalam bentuk ikut festival,
seminar, hingga ikut organisasi. Diantaranya International Writing Program di
University of Iowa, Iowa City, USA, 1979. Bicara tentang Teater Modern Indonesia
keliling kampus Australia, 1992. Partisipan aktif Session 340, Salzburg Seminar
, Austria. Sejak 1997, menjadi anggota aktif Asia Arts Net / AAN, sebuah
organisasi pertunjukan yang beranggotakan 20 kota penting di Asia.
Dari luar negeri ia menerima beberapa penghargaan. Antara lain SEA Write Award
dari Raja Thailand, untuk karyanya Semar Gugat, 1998. Dan atas undangan Theater
Practice Singapore, menyutradari lakon karyanya -Sampek Engtay - di Singapura,
tahun 2000, dengan pemain seluruhnya dari Singapura. Karyanya Opera Kecoa, tahun
1992 dimainkan di Australia oleh Belvoir Theater, sebuah grup garda depan di
Sydney, Australia. Selain menekuni dunia kesenian, Nano sejak 1970-an aktif di
dunia wartawan. Ikut mendirikan majalah Zaman (1979) dan bekerja sebagai
redaktur sampai 1985. Juga ikut mendirikan majalah MATRA, 1986, dan bekerja
sebagai Pemimpin Redaksi majalah itu hingga Maret 2001.
Sandiwara Nano-Teater Koma umumnya mengolah isu sosial politik (yang sensitip)
disajikan dengan cara guyonan. Hal itu dipengaruhi oleh sikapnya sebagai
wartawan yang selalu kritis, dan sebagai orang Cirebon yang suka humor. Tak
urung pada jaman Orde Baru tersandung pencekalan oleh pihak berwajib. Antara
lain : Maaf-maaf (1978, di Bandung, Yogyakarta, Surabaya), Sampek Engtay (1989,
di Medan Sumatera Utara), Suksesi dan Opera Kecoa (1990, keduanya di Jakarta).
Rencana pentas Opera Kecoa ke empat kota Jepang tahun 1992 batal. Hingga 1998,
setiap kali mau pentas, Teater Koma harus imendapatkan ijin khusus polisi. Namun
dengan datangnya reformasi 1998, yang menumbangkan Soeharto bersama rejim Orde
Baru, keadaan berubah. Koma tidak memerlukan ijin khsusus lagi. Bahkan ketika
mementaskan Republik Bagong di TIM belum lama ini, Presiden Abdurrahman Wahid
menyaksikan.
Informasi:
HumasAS12001, Yusuf Susilo Hartono
T: 0816.483.99.15 E: yshartono@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar