Minggu, 26 Juli 2009

>Sabtu, 9 Maret 2002 "Opera Diponegoro" Humanisme di Tengah Peperangan

>Sabtu, 9 Maret 2002

"Opera Diponegoro"
Humanisme di Tengah Peperangan

KOBOI berkuda (kepang) putih itu mendadak nyelonong di tengah kerumunan serdadu Belanda dan rakyat jelata yang akan dieksekusi. Si koboi yang bertopi, berbaju kotak-kotak dan celana jins bicara casciscus: "I wanna seek Osama bin Laden. He's a dangerous, very dangerous man. You know?" katanya. Ia sesekali menelepon lewat telepon genggam, mungkin tengah berhubungan dengan pusat intelijen di AS.
Nama Osama bin Laden yang tengah diburu si koboi (intel AS) di Jawa, segera diplesetkan para pribumi itu sebagai hendak mencari tenaga tukang laden (Jawa: pelayan). Mereka pun beramai-ramai memasang jenggot palsu, karena disangka bahwa yang dibutuhkan TKI berjenggot...

Adegan kocak itu muncul dalam Opera Diponegoro (OD) yang dipentaskan ulang di Auditorium RRI Surakarta, 1-5 Maret 2002. Sukses yang dipetik OD tentu bukan semata-mata lantaran Sardono W Kusumo menyelipkan adegan-adegan kocak, tetapi karena nilai kontekstualnya.

Masuknya tokoh "intel AS", juga tokoh "wartawan perang" peliput dalam OD kali ini, tak lain adalah siasat Sardono untuk lebih mengaktualisasikan pesan dan gagasannya akan tema kemanusiaan dan perdamaian dari perjuangan Diponegoro sendiri. Sekalipun tidak lepas dari kerangka, penyajiannya di panggung kadang terasa agak artifisial.

Bagi Sardono yang berpegang pada konsep "teatralisasi sebuah gagasan (besar) lebih utama daripada sekadar bentuk", OD niscaya menjadi wahana bagi obsesinya untuk melakukan kampanye antikekerasan.

"Apakah kamu bisa membuktikan apa kesalahan Diponegoro? Apakah betul bahwa Diponegoro seorang tokoh teroris? Lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan oleh peperangan ini?" Pertanyaan menggugat yang dilontarkan tokoh Surobrojo ini jelas relevan disampaikan kapan saja.

Wartawan

Munculnya tokoh wartawan, sebagaimana dituturkan Sardono yang mengutip Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta, laporan tentang situasi perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro itu ditulis hanya selang dua pekan setelah perang berlangsung. Laporan berbentuk babad itu dinilai tak ubahnya sebagai bentuk jurnalistik. Sekaligus memberi makna Kota Solo sebagai perintis penerbitan pers di Indonesia.

Wartawan perang itu, yang diperankan Hanindawan, menjadi sosok segar yang mampu melintas ruang dan waktu. Maka ia memberi logika hadirnya "intel AS". Sekali waktu ia bertindak selaku narator yang memberitahu penonton bahwa eksekusi atas Surobrojo, serdadu kompeni yang mbalelo, benar-benar tercatat dalam Babad Diponegoro.

Ia pun hadir di tengah-tengah peperangan yang baru saja usai. Dan menjadi saksi akan kepiluan hati Diponegoro yang menyesali akibat peperangan. Perang Jawa (1825-1830) yang dia kobarkan ternyata memakan korban nyawa sanak-saudara, tetangga dan bangsanya sendiri.

Pemberontakannya terhadap penindasan pemerintah kolonial Belanda, memperhadapkan para prajurit Diponegoro dengan prajurit dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang sesungguhnya masih kerabatnya sendiri. Menurut catatan, 200.000 pribumi dan 7.000 prajurit Belanda tewas.

Diponegoro digambarkan hancur hatinya. Ia pun minta dipapah, dan wartawan tadi membantunya menutup mata sang pangeran dengan kain hitam lantaran tak tega menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan, di antaranya bahkan para perempuan yang menyamar sebagai prajurit laki-laki. Sebuah tembang Megatruh mengalun pilu mengantar kepergiannya.

Humanis

Bagi Sardono (57), yang mendasarkan penyusunan repertoar OD dari tak kurang 20 naskah referensi; sekalipun Diponegoro dikenal sebagai pejuang yang melawan penindasan yang dilakukan oleh sistem kolonial Belanda, Diponegoro sesungguhnya sosok yang humanis dan pejuang HAM.

"Sekalipun dalam perjuangannya ia banyak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi dalam banyak hal Diponegoro-seperti tertulis dalam otobiografi yang ditulisnya sendiri-menentang segala bentuk kekerasan. Platform perjuangannya sesungguhnya bersifat universal," tuturnya. Fakta itu, lanjutnya, merupakan counter terhadap fenomena kekerasan yang menyangkut citra Islam di masyarakat akhir-akhir ini.

Diponegoro dilukiskan menolak Wali Sanga yang membaiatnya sebagai pemimpin perang yang akan membebaskan tanah Jawa dari belenggu penjajahan, sebab kalbunya menolak kekerasan. Tawaran dari Penguasa Laut Selatan yang akan membantunya dalam peperangan, pun ditampiknya.

Ia juga menolak godaan wanita (jin?) dan sebaliknya pasrah kepada pertolongan Tuhan. Ini untuk menggambarkan keimanan Diponegoro yang kuat terhadap agama (Islam). Ini sekaligus memberikan gambaran sikap toleran seorang pemimpin umat-ia mendapat gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Kalifah Rasulullah-terhadap keberagaman atau pluralisme. Dalam OD ini, digambarkan bahwa sebagai Muslim, Diponegoro secara tak langsung menghormati keberadaan sistem kepercayaan yang hidup di masyarakat saat itu, yang masih dikuasai gugon-tuhon dan mistik.

Esensi perjuangan Diponegoro yang universal ternyata bergema di mana-mana. Menurut catatan, surat kabar Le Monde terbitan Paris tahun 1840 memuat simpati kalangan intelektual Eropa terhadap perjuangan Diponegoro, dan di sisi lain mereka memprotes sistem kolonialisme yang diterapkan oleh Kerajaan Belanda di tanah Jawa (Indonesia).

"Para intelektual Eropa itu jelas bukan berasal dari Islam tetapi dari kalangan Katolik, Protestan, Cauvinis. Itu membuktikan bahwa perjuangan Diponegoro tidak mengenal wilayah agama," ujar Sardono. (Ardus M Sawega)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar