Minggu, 26 Juli 2009

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup Alex R.

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup
Alex R.


Saat saya menyaksikan pementasan Teater Satu yang bekerja sama dengan Watala dalam rangka kampanye pengelolaan SDA hutan tanggal 8 Agustus 2001 lalu, ada hal yang menurut saya pantas dicatat disini. Pertama lakon drama tersebut yang diadaptasi kembali oleh Teater Satu dari karya dramawan terhebat yang dimiliki Indonesia, Arifin C. Noer. Siang itu, Taman Budaya Lampung nampak panas-- namun antusias anak-anak sekolah yang nampaknya berminat sekali menyaksikan pentas tersebut berlangsung, membuat saya berpikir, bahwa memang sastra telah mencapai angka perkembangan yang dasyat sekali. Program sosialisasi Bahasa Indonesia di sekolah nampaknya telah berhasil memancing minat anak sekolah untuk lebih mendalami sastra Indonesia.

Dalam lakon yang berjudul "Si Aruk dan Sang Pangeran", tergambar jelas bahwa kehidupan masyarakat petani-- kelas bawah, yang selalu saja tertindas tanpa bisa melawan. Melawan kekuasaan yang tak berbentuk. Ciri khas, pementasan drama yang dilakonkan oleh Teater Satu selalu saja mengambil setting panggung yang bersimbolkan angka "tahun". Di sana, ditunjukkan bagaimana-- perkembangan nasib petani Indonesia, yang tak memiliki tanah (tanah, dalam pementasan ini dianologikan sebagai surat wasiat). Tahun-tahun yang meletihkan dan berbicara panjang, dimana rakyat hanya bisa manggut- manggut, tunduk pada kekuasaan yang menikam kehidupan.

Namun, Arifin telah memperlihatkan secara tematik dan pengucapan. Dalam salah satu lakon drama Arifin yang berjudul "Prita Istri Kita" menyajikan beberapa hal penting jika ditinjau dari konstelasi permaknaan bagi kehidupan. Drama monolog ini dipenuhi oleh filsafat hidup yang sederhana. Karena, pada umunya manusia senantiasa menolak realitas buruk yang mungkin terjadi pada dirinya. Pada awal bagian drama "Prita Istri Kita" ini menggambarkan sikap manusia yang cenderung lebih suka bermimpi. Hidup dalam dunia angan-angan. Hal, ini juga menunjukkan kesamaan pada lakon "Kapai-Kapai", Arifin C. Noer. Berikut saya kutip secara lengkap bagian pertama "Kapai-Kapai" ("Dongeng Emak") dalam hal ini mencerminkan penggabungan unsur dongeng, mimpi, dan perasaan-perasaan bahagia yang tengah berkecamuk dalam wong cilik. Arifin memadukannya dalam bahasa puisi yang indah dan mendayu.
Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itu, Sang Pangeran Rupawan menyelinap di antara pokok-pokok puspa, sementara air di dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun Sang Putri Jelita dengan debaran jantung dalam yang baru tumbuh, melambaikan setangan suteranya di balik tirai merjan, di jendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-dayangnya. Melentik air matanya bagai butir-butir mutiara.
Abu :Dan Sang Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat membidik pada satu arah; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan
Abu :Dan Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Barangkali kau akan lupa dongeng Emak malam kemarin, Hatta, dengan Cermin Tipu Daya seratus prajurit itu pun seketika jadi lumpuh. Cermin yang diacungkan oleh Sang Pangeran telah memancarkan api panas bahagia lahar Candraadimuka.

Permainan gaya bahasa yang dilakukan oleh Arifin memang puitik. Taufik Ismail sendiri dalam sorotan terhadap puisi-puisi Arifin C. Noer mengatakan, "Kesenian pertama membaca sajak-sajak Arifin adalah kelancaran penulisan situasi puitik dijaga Arifin dengan iramanya. Dan, sebenarnya ia bisa bernyanyi panjang dengan merdu, menggunakan kemungkinan-kemungkinan dramatik dengan substil. Permainan gaya bahasa ituketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itudilanjutkan dengam gaya "konyol" Abu dan pangeran, Mak? Walau akhirnya ditutup dengan bahasa yang ambigu. Dalam naskah "Kapai-Kapai" masalah kemiskinan memang sangat kental dalam telinga Arifin. Kemiskinan merupakan suatu penyakit sosial yang harus dengan segera diberantas. Penindasan (eksploitasi antara sesama manusia) harus dihapuskan namun, memberantasnya harus(juga) dengan cara yang luwes tanpa memperlihatkan sikap konfrontatif antara satu kondisi dengan yang lainnya. Ada waktunya, dalam kehidupan ini manusia harus "nyinyir" menyingkir dalam kehidupan sementara waktu-- bertapa lalu menyembunyikan diri dalam gua di belantara hutan. Namun, harus juga menerima relaitas yang terjadi. Kita tidak boleh begitu saja menyerah pada takdir. Karena, dalam suatu Surat Al-Qur'an Allah telah berfirman, "Allah tak akan pernah merubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu sendiri tidak merubahnya." Naskah tersebut dilanjutkan,
Abu :Dan Sang Pangeran selamat, Mak?
Emak :Selalu selamat. Selalu selamat. Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Abu :Dan Sang Putri,Mak? Emak :Dan Sang Purti, Nak? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Pangeran dalam mimpi yang sangat panjang,dimana seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu dengan penuh cahaya.
Abu :Dan bahagia, Mak?
Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Majikan: Abu!
Abu :Mereka senantiasa bahagia. Pokok-pokok puspa. Cahaya purnama. Istana cahaya. Cermin Tipu Daya.

Oleh Teater Satu, naskah drama ini dikembangkan dengan mengganti beberapa tokoh. Tokoh Abu digantikan oleh Si Aruk. Tokoh Emak digantikan dengan Tamong (kakek). Permainan pentas, mengenai sosok Si Aruk-- dalam hal ini berperan sebagai petani miskin. Selalu saja dihantui dengan penyakit orang miskin, yakni: rasa lapar yang berlebihan. Walau sosok Hindun dengan peran sebagai istri Aruk, selalu saja setia untuk menemani Aruk sampai akhir hayat.
Emak :Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.
Abu :Sang pangeran juga tidur sore-sore, Mak?
Emak :Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau seperti Sang Pangeran yang rupawan.
Sosok Abu/Aruk yang selalu memimpikan Sang Pangeran, nampaknya telah jauh membawa kita pada imaji bahwa penderitaan yang dialami tokoh Abu maupun Aruk sudah sedemikian berat. Dan, sebagai tipikal utama penciptaan sastra Arifin, bentuk sepert Kapai-Kapaiini mendominasikan tema sentra sosial yang terus-menerus digarapnya secara kontinue dan berlanjut. Tanpa harus mengenal lelah dan bosan. Ia mencoba untuk menyajikan konsep sastra yang merakyat. Selalu mengangkat tema-tema yang ada di depan matanya. Namun, konsep ini sebenarnya bertentangan dengan konsep sastra proletar ala Lekra yang menekankan tentang pertentangan antar kelas dalam masyarakat. Konsep yang digulirkan oleh Arifin dalam naskah Kapai-Kapai lebih menegaskan bagaimana pembelaannya terhadap manusia yang selalu saja tertindas. Masalah kemanusiaan yang semakin kompleks.

Konsep ini berhasil diformulasikan oleh Arifin, pembelaan terhadap manusia yang selama berabad-abad diperhina karena kemiskinan, penyakit, peperangan, kelaparan, dan segala macam perendahan martabat. Karena sosok manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia harus senantiasa diangkat peranannya dalam kehidupan yang sebenarnya. Mengembalikan fitrah hidup manusia sebagai makhluk paling agung yang diciptakan Allah. Dengan demikian, karya sastra telah berbicara apa-adanya. Membela keagungan kehidupan yang dijalani manusia secara utuh.

Karya sastra merupakan penciptaan dunia yang baru. Itulah sebabnya, Arifin mengritik karya sastra yang terlalu borjuis. Karya yang selalu menggambarkan kemewahan hidup, padahal fakta yang ada berbicara lain. Dengan konsep ini pula, Arifin berusaha mengangkat martabat rakyat kebanyakan. Keberpihakannya terhadap rakyat kecil yang senantiasa tertindas, membuat ia selalu mengangkat tema-tema hidup yang sosial. Pemikiran dasarnya dalam menciptakan sebuah karya, telah (berhasil) menempatkan tokoh-tokohnya dalam situasi yang pas dan sesuai dengan kenyataan. . ia menempatkan mereka, menurut ukuran mereka-- dalamstrata sosial, ekonomi, dan perilaku-perilaku kemasyarakatan secara umum. Sayang, dramawan terbesar itu telah tiada. Ia meninggalkan dunia yang fana ini di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1995. Namun, karya-karyanya masih tetap terasa keberadannya. Di Taman Budaya Lampung, hari terasa sore. Matahari telah turun jauh, pentas drama baru saja usai. Saya terkenang lakon Kapai-Kapai yang diadaptasi tadi. Lalu, teringat, kutipan tulisan Arifin tentang sastra. "Saya sekarang hampir percaya bahwa abad ini adalah abad penghinaan habis-habisan manusia, dan karena itu saya berupaya untuk mengembalikan martabat manusia kembali pada posisinya sebagai subjek dan objek."

http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=392

Tidak ada komentar:

Posting Komentar