Minggu, 26 Juli 2009

Situs [aikon!] BLACK TENT THEATER WOYZECK JERMAN, RASA JEPANG

Situs [aikon!]

BLACK TENT THEATER
WOYZECK JERMAN, RASA JEPANG


Graha Bhakti Budaya-TIM
12-13 September 2001, pukul 20.00 WIB
Kelompok Seni : Black Tent Theater (Teater Kontemporer)
Asal : Jepang
Judul : Woyzeck
Pengarang : Georg Buchner (1813-37)
Durasi : 105 menit
Sutradara : Makoto Sato.K
Komposer/pianis : Kiyoko Ogino

Pemain :

Woyzeck: Haruhiko Saito; Marie: Mitzuki Nishiyama; Kapten: Natsuko Kiritani;
Dokter: Natsuko Kiritani; Mayor drum: Zhang Chunxiang; Andres: Toru Hanabusa;
Malaikat: Keiko Takeya.

Malaikat dan seorang wanita berada di atas panggung. Yang wanita bangun untuk
menari seperti marionet diiringi lagu yang dinyanyikan oleh suara wanita
ketakutan, Malaikat berpakaian abu-abu, dengan warna kulit abu-abu menyalakan
sirine. Ini menimbulkan teka teki, namun itu permulaan yang memancing dalam
Woyzeck, yang dipentaskan dalam interpretasi ketujuh oleh Black Tent Theater.
Kelompok seni yang direputasikan secara fisik dan inovasi.
Karya orang Jerman merupakan satu dari sedikit karya yang dimainkan pada abad 19
yang masih menarik. Hal ini mungkin karena masalah-masalah yang tak mengenal
waktu tentang masyarakat yang pernah ada berpotensi membuat seseorang menjadi
self destruktif. Diterbitkan 1879 dan pertama kali dipertunjukkan pada tahun
1931, pertunjukan ini benar-benar pertunjukan repertoar milik abad 20 meskipun
itu ditulis tahun 1836. Pengarangnya, Georg Buchner (1813-37), berdasarkan karya
catatan seorang psikiater dari seorang pria yang didakwa dan akhirnya digantung
karena membunuh selingkuhannya pada tahun 1821.
Versi pelaksanaannya oleh Alban Berg, Woyzeck (1925), adalah salah satu opera
yang paling sukses di abad ini judulnya ditulis berbeda karena pengarang
mendasarkan teksnya pada sebagian tulisan tangan yang tidak bisa dibaca. Serdadu
pangkat rendah, Woyzeck bekerja keras sebagai pembantu kapten yang padahal ia
dimanfaatkan sebagai kelinci percobaan untuk dokter ahli diet. Kapten cepat
mengkritik Woyzeck lewak keluhan-keluhannya dan mengatakannya amoral karena
menjadi ayah anak haram. Dokter selalu mengecek nadi Woyzeck dan menyuruhnya
hanya memakan kacang. Alangkah sedikitnya penghasilan yang Woyzeck dapat, dan
dengan setia ia berikan semuanya kepada selingkuhannya Marie.
Suatu hari, Woyzeck dan Marie pergi ke bazar, dimana mereka melihat pawang
binatang memasukan binatang buas dimasukkan ke kandang. Binatang tetap binatang,
mereka kencing di depan pengunjung. Keesokan harinya, dokter melihat Woyzeck
mengencingi tembok luar, dan menghardiknya atas perbuatan buruknya. Tersiksa
oleh percobaan kehidupan sehari-harinya, pikiran Woyzeck bertambah kosong di
tempat kerja dan makin tidak perhatian pada Marie dan bayinya. Walhasil, Marie
cepat terpikat dengan mayor drum band, seorang pria yang menonjolkan
kemaskulinannya dan rasa percaya dirinya. Woyzeck melihat Marie dan Mayor Drum
Band menari dengan fantastis di pesta dansa dan Mayor itu mengejek Woyzeck dan
mengalahkannya dirinya. Woyzeck melihat Marie dan Mayor Drum Band menari dengan
fantastis di pesta dansa dan Mayor itu mengejek Woyzeck dan mengalahkannya.
Pikiran Woyzeck sekarang semakin memburuk. Ia membeli pisau dan memotong
tenggorokan Marie dekat danau di hutan. Kemudian ia kembali untuk menutup pisau
yang digunakan, setelah itu ia membunuh temannya yang acuh Andres, yang
kebetulan lewat.
Sutradara Makoto Sato mencoba membuat pertunjukan suram ini seterikat mungkin
dengan melibatkan ide-ide yang inovatif, termasuk orang melambaikan lentera
merah dan putih pada bazaar dan bernyanyi lagu daerah Okinawa, Indonesia dan
Korea.
Hasilnya sangat mudah diterima dan bahkan karya yang menghibur. Namun kadangkala
penonton dibiarkan bertanya-tanya tentang hubungan antara spa yang terlihat
menjadi ide-ide yang sangat berbeda, masalah yang besar karena ceritanya sangat
sulit dimulai dengan spa. Setelah mengatakan hal itu, harus juga dikatakan bahwa
pertunjukan 105 menit, tanpa jeda tidak pernah membosankan, bahkan bila anda
tidak mengerti bahasa Jepang.
Haruhiko Saito, mantan aktor kawakan pada kelasnya, mungkin tidak lagi terlihat
30 tahun, tapi gambaran tentang sakunya dan hasutan Woyzeck begitu hidup,
dibantu dengan sebagian besar cara bicara cepat dan menggebu-gebu adalah ciri
khasnya.
Mitzuki Nishiyama sebagai Marie kebetulan seorang wanita biasa. Karena dia tidak
genit, sikapnya terhadap Mayor menjadi lebih erotis. Tetapi menganggap bahwa
nasibnya berakar dari ketakacuhannya dari keputusasaan Woyzeck, mungkin
seharusnya Marie terlihat sedikit terkejut daripada yang telah ia lakukan ketika
Woyzeck memegang pisau.
Mayor drum yang jantan dimainkan oleh Zhang Chunxiang, aktor Cina dengan tampang
ganteng yang sedikit kasar dan fisik yang kuat. Ia bicara kata-katanya dalam
bahasa Mandarin dan Jepang, tetapi dua kreasi yang menyenangkan untuk menemukan
bahasa tubuhnya mewakilkan volumenya.
Toru Hanabusa menjadi Andres yang tak terlupakan, yang punya potret karakter
komik memberikan momen yang menyegarkan dalam drama ini jika tidak drama ini
begitu kelam.
Karl, wanita misterius yang tampil sebagai malaikat pada awal drama, dimainkan
oleh Keiko takeya, yang menari dengan kelenturan yang luar biasa dan gerakannya
nampak seperti cermin dari emosi Marie. Kapten dan Dokter ditampilkan hampir
seluruhnya dengan gaya satir masing?masing diperankan oleh Natsuko Kirttani.
Anggota lain dari kelompok seni memberikan peran, nyanyian dan tarian ensemble
yang hebat. Skor yang menarik, diaransir oleh komposer dan pianis Kiyoko Ogino,
yang juga menulis beberapa lagu, mulai dari interlude mirip Debussy sampai
atonal, angka chorus poliphonik.


Informasi:
HumasAS12001, Yusuf Susilo Hartono
T: 0816.483.99.15 E: yshartono@yahoo.com

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup Alex R.

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup
Alex R.


Saat saya menyaksikan pementasan Teater Satu yang bekerja sama dengan Watala dalam rangka kampanye pengelolaan SDA hutan tanggal 8 Agustus 2001 lalu, ada hal yang menurut saya pantas dicatat disini. Pertama lakon drama tersebut yang diadaptasi kembali oleh Teater Satu dari karya dramawan terhebat yang dimiliki Indonesia, Arifin C. Noer. Siang itu, Taman Budaya Lampung nampak panas-- namun antusias anak-anak sekolah yang nampaknya berminat sekali menyaksikan pentas tersebut berlangsung, membuat saya berpikir, bahwa memang sastra telah mencapai angka perkembangan yang dasyat sekali. Program sosialisasi Bahasa Indonesia di sekolah nampaknya telah berhasil memancing minat anak sekolah untuk lebih mendalami sastra Indonesia.

Dalam lakon yang berjudul "Si Aruk dan Sang Pangeran", tergambar jelas bahwa kehidupan masyarakat petani-- kelas bawah, yang selalu saja tertindas tanpa bisa melawan. Melawan kekuasaan yang tak berbentuk. Ciri khas, pementasan drama yang dilakonkan oleh Teater Satu selalu saja mengambil setting panggung yang bersimbolkan angka "tahun". Di sana, ditunjukkan bagaimana-- perkembangan nasib petani Indonesia, yang tak memiliki tanah (tanah, dalam pementasan ini dianologikan sebagai surat wasiat). Tahun-tahun yang meletihkan dan berbicara panjang, dimana rakyat hanya bisa manggut- manggut, tunduk pada kekuasaan yang menikam kehidupan.

Namun, Arifin telah memperlihatkan secara tematik dan pengucapan. Dalam salah satu lakon drama Arifin yang berjudul "Prita Istri Kita" menyajikan beberapa hal penting jika ditinjau dari konstelasi permaknaan bagi kehidupan. Drama monolog ini dipenuhi oleh filsafat hidup yang sederhana. Karena, pada umunya manusia senantiasa menolak realitas buruk yang mungkin terjadi pada dirinya. Pada awal bagian drama "Prita Istri Kita" ini menggambarkan sikap manusia yang cenderung lebih suka bermimpi. Hidup dalam dunia angan-angan. Hal, ini juga menunjukkan kesamaan pada lakon "Kapai-Kapai", Arifin C. Noer. Berikut saya kutip secara lengkap bagian pertama "Kapai-Kapai" ("Dongeng Emak") dalam hal ini mencerminkan penggabungan unsur dongeng, mimpi, dan perasaan-perasaan bahagia yang tengah berkecamuk dalam wong cilik. Arifin memadukannya dalam bahasa puisi yang indah dan mendayu.
Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itu, Sang Pangeran Rupawan menyelinap di antara pokok-pokok puspa, sementara air di dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun Sang Putri Jelita dengan debaran jantung dalam yang baru tumbuh, melambaikan setangan suteranya di balik tirai merjan, di jendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-dayangnya. Melentik air matanya bagai butir-butir mutiara.
Abu :Dan Sang Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat membidik pada satu arah; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan
Abu :Dan Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Barangkali kau akan lupa dongeng Emak malam kemarin, Hatta, dengan Cermin Tipu Daya seratus prajurit itu pun seketika jadi lumpuh. Cermin yang diacungkan oleh Sang Pangeran telah memancarkan api panas bahagia lahar Candraadimuka.

Permainan gaya bahasa yang dilakukan oleh Arifin memang puitik. Taufik Ismail sendiri dalam sorotan terhadap puisi-puisi Arifin C. Noer mengatakan, "Kesenian pertama membaca sajak-sajak Arifin adalah kelancaran penulisan situasi puitik dijaga Arifin dengan iramanya. Dan, sebenarnya ia bisa bernyanyi panjang dengan merdu, menggunakan kemungkinan-kemungkinan dramatik dengan substil. Permainan gaya bahasa ituketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itudilanjutkan dengam gaya "konyol" Abu dan pangeran, Mak? Walau akhirnya ditutup dengan bahasa yang ambigu. Dalam naskah "Kapai-Kapai" masalah kemiskinan memang sangat kental dalam telinga Arifin. Kemiskinan merupakan suatu penyakit sosial yang harus dengan segera diberantas. Penindasan (eksploitasi antara sesama manusia) harus dihapuskan namun, memberantasnya harus(juga) dengan cara yang luwes tanpa memperlihatkan sikap konfrontatif antara satu kondisi dengan yang lainnya. Ada waktunya, dalam kehidupan ini manusia harus "nyinyir" menyingkir dalam kehidupan sementara waktu-- bertapa lalu menyembunyikan diri dalam gua di belantara hutan. Namun, harus juga menerima relaitas yang terjadi. Kita tidak boleh begitu saja menyerah pada takdir. Karena, dalam suatu Surat Al-Qur'an Allah telah berfirman, "Allah tak akan pernah merubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu sendiri tidak merubahnya." Naskah tersebut dilanjutkan,
Abu :Dan Sang Pangeran selamat, Mak?
Emak :Selalu selamat. Selalu selamat. Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Abu :Dan Sang Putri,Mak? Emak :Dan Sang Purti, Nak? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Pangeran dalam mimpi yang sangat panjang,dimana seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu dengan penuh cahaya.
Abu :Dan bahagia, Mak?
Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Majikan: Abu!
Abu :Mereka senantiasa bahagia. Pokok-pokok puspa. Cahaya purnama. Istana cahaya. Cermin Tipu Daya.

Oleh Teater Satu, naskah drama ini dikembangkan dengan mengganti beberapa tokoh. Tokoh Abu digantikan oleh Si Aruk. Tokoh Emak digantikan dengan Tamong (kakek). Permainan pentas, mengenai sosok Si Aruk-- dalam hal ini berperan sebagai petani miskin. Selalu saja dihantui dengan penyakit orang miskin, yakni: rasa lapar yang berlebihan. Walau sosok Hindun dengan peran sebagai istri Aruk, selalu saja setia untuk menemani Aruk sampai akhir hayat.
Emak :Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.
Abu :Sang pangeran juga tidur sore-sore, Mak?
Emak :Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau seperti Sang Pangeran yang rupawan.
Sosok Abu/Aruk yang selalu memimpikan Sang Pangeran, nampaknya telah jauh membawa kita pada imaji bahwa penderitaan yang dialami tokoh Abu maupun Aruk sudah sedemikian berat. Dan, sebagai tipikal utama penciptaan sastra Arifin, bentuk sepert Kapai-Kapaiini mendominasikan tema sentra sosial yang terus-menerus digarapnya secara kontinue dan berlanjut. Tanpa harus mengenal lelah dan bosan. Ia mencoba untuk menyajikan konsep sastra yang merakyat. Selalu mengangkat tema-tema yang ada di depan matanya. Namun, konsep ini sebenarnya bertentangan dengan konsep sastra proletar ala Lekra yang menekankan tentang pertentangan antar kelas dalam masyarakat. Konsep yang digulirkan oleh Arifin dalam naskah Kapai-Kapai lebih menegaskan bagaimana pembelaannya terhadap manusia yang selalu saja tertindas. Masalah kemanusiaan yang semakin kompleks.

Konsep ini berhasil diformulasikan oleh Arifin, pembelaan terhadap manusia yang selama berabad-abad diperhina karena kemiskinan, penyakit, peperangan, kelaparan, dan segala macam perendahan martabat. Karena sosok manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia harus senantiasa diangkat peranannya dalam kehidupan yang sebenarnya. Mengembalikan fitrah hidup manusia sebagai makhluk paling agung yang diciptakan Allah. Dengan demikian, karya sastra telah berbicara apa-adanya. Membela keagungan kehidupan yang dijalani manusia secara utuh.

Karya sastra merupakan penciptaan dunia yang baru. Itulah sebabnya, Arifin mengritik karya sastra yang terlalu borjuis. Karya yang selalu menggambarkan kemewahan hidup, padahal fakta yang ada berbicara lain. Dengan konsep ini pula, Arifin berusaha mengangkat martabat rakyat kebanyakan. Keberpihakannya terhadap rakyat kecil yang senantiasa tertindas, membuat ia selalu mengangkat tema-tema hidup yang sosial. Pemikiran dasarnya dalam menciptakan sebuah karya, telah (berhasil) menempatkan tokoh-tokohnya dalam situasi yang pas dan sesuai dengan kenyataan. . ia menempatkan mereka, menurut ukuran mereka-- dalamstrata sosial, ekonomi, dan perilaku-perilaku kemasyarakatan secara umum. Sayang, dramawan terbesar itu telah tiada. Ia meninggalkan dunia yang fana ini di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1995. Namun, karya-karyanya masih tetap terasa keberadannya. Di Taman Budaya Lampung, hari terasa sore. Matahari telah turun jauh, pentas drama baru saja usai. Saya terkenang lakon Kapai-Kapai yang diadaptasi tadi. Lalu, teringat, kutipan tulisan Arifin tentang sastra. "Saya sekarang hampir percaya bahwa abad ini adalah abad penghinaan habis-habisan manusia, dan karena itu saya berupaya untuk mengembalikan martabat manusia kembali pada posisinya sebagai subjek dan objek."

http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=392

Wawancara dengan Heinrich Böll Werner Koch

Wawancara dengan Heinrich Böll
Werner Koch

(Tuan Böll, bagaimana anda menulis, kapan anda menulis, dimana anda menulis - perlukah anda menulis di sebuah rumah keluarga, mungkin di rumah peristirahatan di Irlandia atau di sini di apartemen Köln-Muengersdorfer, atau cukup di sebuah kamar hotel yang tak terlalu pribadi?)

Saya bekerja sangat pelan, tapi kalau menulis sangat cepat, kebanyakan pada siang hari, antara jam 10.00 sampai jam 14.00, untuk menjawab pertanyaan; bagaimana dan kapan. Ya dimana sampai sekarang saya berada, saya tidak tahu, bagaimana nanti di masa tua, agaknya sama saja. Saya perlukan sebuah rumah keluarga, tapi rumah keluarga itu sudah cepat tersedia - saya sebenarnya hanya perlu sebuah meja, yang tak bergoyang, sebuah kursi, yang cocok dengan mejanya, dan di dekatnya ada tempat yang memungkinkan untuk mencuci tangan - tak lebih dari itu.

(Nah, bagaimana anda menulis, apa anda menulis dengan tangan, dengan tangkai pena, dengan mesin ketik?)

Ah, itu yang kau maksud. Ya, saya biasanya menulis langsung di mesin ketik, lalu dikoreksi - dan pengoreksian ini yang banyak kerjanya - dengan tangan, dengan sebuah pensil.

(Anda mulai dengan sebuah roman dan menulisnya tak sampai tamat - apakah itu sudah di rencanakan?)

Ya, itu sudah direncanakan. Bahkan kejadiannya juga sudah dipikirkan, bahwa saya akan menulis sebuah roman hingga tamat dan keduanya tak di publikasikan.

(Adakah konsep dasar yang singkat dan tepat? Tidakkah tema itu memuaskan anda?)

Bila roman itu sampai tak selesai, mungkin dasarnya, bahwa saya tak bisa bertahan, atau romannya sendiri yang tak tahan - dia juga harus ikut serta, bukan, saya mengumpamakannya - sekarang dia sebagai kata ganti orang - sebagai seorang partner, yang ikut bersama terlibat; meski kadang materinya tak mudah, kemudian mengalir begitu saja, kirim - selesai. Dan yang tak di terbitkan, yang memang menurut saya tak menarik dan yang saya anggap tak berkwalitas.

(Sebuah pertanyaan menggebu yang kurang sopan: Berapa jumlahnya itu?)

Ada empat - tiga atau empat, tapi bagi saya yang terpenting adalah pengalaman berkarya itu, luar biasa pentingnya, kadang lebih penting ketimbang dari karya yang sudah saya terbitkan. Karya yang tak berhasil saya selesaikan itu, kadang saya belajar lebih banyak darinya.

(Untuk memutuskan, apakah sebuah roman sekarang sudah layak di terbitkan atau tidak, menurut keputusan anda sendiri atau anda tanya kepada istri?)

Pada prinsipnya saya putuskan sendiri, namun istri saya juga ikut terlibat di dalamnya.

(Tuan Böll, sebelum anda memulai sebuah roman, sudahkah plot/alurnya di tentukan, tahukah anda, apa yang akan datang, tahukah anda, apa yang akan terjadi, tahukah anda sebagai penutupnya?)

Tidak, hal itu tak bisa di tentukan, khususnya, karena plot sebagai apa adanya, sehingga dalam tehnik pembuatan isi epos plot, tak menarik. Saya tertarik pada orang-orangnya, situasinya, peristiwa-peristiwa di dalamnya - lalu apa yang orang sebut sebagai isi plot yang sebenarnya, aksi, tak bisa di tentukan.

(Kemudian itu akan terjadi dengan sendirinya...Sebuah contoh: Anda telah memulai membuat sebuah roman, sudah selesai 100 halaman, Anggapan anda adalah, roman itu sudah begitu dan terus mengalir saja, tapi bukankah kemudian roman itu harus di plot dengan haluan yang baru...)

...Saya tak tahu persisnya, kemana roman itu terus melaju, terutama seluk beluknya, bila saya sudah menyelesaikannya - katakanlah konsep pertama, konsep acak-acakan, konsep kedua dan seterusnya -, bekerja "dari belakang ke depan", baru bisa ditemukan susunan peristiwanya yang pertama, dan kadang juga harus merombak dari belakang ke depan, di tengah, harus di pindahkan, sejauh ini saya tak tahu, bagaimana karya harus mengalir, seperti plot yang berjalan.

(Tuan Böll, bagaimana hubungannya antara penulis dengan orang-orang pelaku dalam roman, sejauh mana anda menjaga jarak dengan mereka, dan sejauh mana anda merasa bersaudara dengan orang-orang pelaku itu. Bisakah digambarkan.)

Ya, sulit menjelaskannya, tahukah anda, bagaimana semua masalah itu secara alami mirip tak bisa diterangkan, dan mirip juga dalam kata, hubungan antara penulis dengan orang-orang pelaku, orang-orang pelaku dengan penulis- sebuah percobaan kemiripan dari kedua belah pihak, kadang saya tak hiraukan saja, saya anda, tapi itu harus ada sebuah jarak, meski minimal sekalipun, kalau tidak hal itu berada di sampingnya,- saya juga berpendapat, bagaimana seandainya penulis itu juga seorang pelaku, katakanlah, saya menulis sebuah buku otobiografi, harusnya saya makin membuat jarak. Dan orang-orang pelaku dalam roman-roman itu banyak - sebenarnya saya mencoba untuk membebaskan mereka dan menempatkan mereka pada posisi yang adil, utamanya hal-hal yang saya anggap tak simpatik, dengan demikian saya bisa temukan mereka sebagian besar.

(Sebelum anda menulis sebuah roman; apakah anda membuat semacam catatan kecil, dan jika ya, bagaimana bentuk catatan kecil itu?)

Saya tidak membuat catatan kecil sama sekali, hanya menulis beberapa kata-kata penting, orang-orang pelaku, kejadian pada suasana-suasana khusus, itu hanyalah coretan-coretan yang tak rapi, yang kemudian akan memainkan peran penting. Sebenarnya hasil itu muncul saat orang sedang menulis karya sastra.

(Seandainya saya mempunyai coretan-coretan semacam itu, tak bisakah saya mulai menulis?)

Tentu saja juga berlaku buat anda. Disitu khan sudah ada beberapa kata, bagi saya itu bisa berarti satu bab, apa yang tersirat di kepala saya, tapi bagi anda bisa berarti kosong. Misalkan saja: asbak rokok atau sesuatu yang lainnya, mengertikah anda, bagi saya itu hanyalah sebagai alat bantu saja, yang kadang dalam perkembangan selanjutnya sama sekali tak ada fungsinya - hanyalah sebuah petunjuk. Saya tak menggunakan persiapan study, kira-kira, kita katakan persiapan study materinya.

(Tak ada kesadaran.)

Tak ada kesadaran, juga tak ada inti dalam karya sesuai ilmu pengetahuan.

(Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana, karena saya terpikat: Bagaimana anda menemukan nama-nama dalam roman anda?)

Saya temukan, sebagian besar sudah di rancang, sebagai daya cipta dari penulis, nama-nama apa saja yang cocok dan terbatasi, kemudia semua muncul, tapi juga banyak yang tak bisa ditemukan.

(Sekarang, dalam roman "Murkes" tak ada - bukan?)

Tidak, saya pikir tidak, yang saya ciptakan, tak saya kontrol. Tapi penulis mengalami begitu saja, karena dia menulis orang-orang pelaku: Dengarkan dulu, bagaimana anda bisa sampai pada hal demikian, untuk membelokkan nama- nama saya! Nama-nama itu bagi saya sangat penting, nama-nama, karena sebuah yang luar biasa saja- kita namainya sebagai kwalitas ungkapan perasaan puitik bagi saya, nama-nama, nama depan, nama keluarga adalah sangat penting, dan oleh karenanya saya menciptakan seperti itu.

(Anda baru saja mengatakan, anda mengalami langsung melalui pembaca anda. Adakah reaksinya, hubungan yang berarti dengan penulis, meskipun pembacanya selalu menggunakan anonim- adakah yang demikian?)

Ya, tentu ada, maksud saya bukan pada sebuah catatan nilai statistik, yang minimal- ada reaksi-reaksi, pada orang-orang yang marah atau tidak atau dengan menulis, tapi pada prinsipnya saya dalam pengekspresian semacam itu tak bisa memberi alasan, karena dalam sebuah roman, bila sudah selesai,sudah dicetak, sudah beredar, bagi saya berarti sudah tak hidup lagi, juga orang-orang pelakunya sama sekali tak ada lagi - saya tak akan mengurus lagi, saya akan mengurus yang berikutnya, dan bergeraklah saya - mengertikah anda?

(Ya, pertanyaan yang lain: sebuah roman yang ditulis dalam bentuk "Saya", misalnya "Roti tahun yang lampau" (Das Brot der frühen Jahre). Sangat sederhana: Siapakah tokoh "Saya" dan mengapa tokoh "Saya" itu sekarang bukan sebagai "Dia"?)

Tokoh "Saya" bukanlah siapa-siapa, itu juga bukan sebagai tokoh "Dia", melainkan Saya adalah saya saja hanya kata ganti orang saya . milik saya - saya (mir: sebagai pelengkap penyerta), saya (mich: sebagai pelengkap penderita), jadinya begitu, saya pikir, perlu pembiasan-.

(Ya, tapi anda memilih contoh pada "Roti tahun silam" (Das Brot der früheren Jahr) memakai bentuk "Saya", sedang contoh lain dalam "Murke" memakai bentuk "Dia". Adakah dasarnya?)

Tentu, itu ada dasarnya. Bila "Saya" untuk saya (pelengkap penderita) hanyalah sebagai materi bahasa - berikutnya, sebuah ungkapan dasar, yang dapat diikuti, tentunya, bisa bervariasi - anda bisa membandingkan dengan sebuah lukisan, katakan saja seorang pelukis mengambil warna dasar merah, disitu ada banyak jenis variasinya. Pada pokok bahasan ini "Saya" hanya sebagai sebuah materi kata. Tentu saja ada kelanjutan sebuah masyarakat dan psikologisnya, mengapa saya memilih "Saya", dan sebagai penanggung jawab dalam menghasilkan karya. Langkah selanjutnya adalah mudah, hanya berpatokan pada seni, dan buat saya dengan amat luar biasa untuk berusaha menjaga dengan orang pelaku. Saya yang sebagai orang asing itu, yang saya tulis sebagai bentuk "Saya", buat saya merupakan jarak yang amat jauh dari pada setiap "Dia". Kalau dibesar-besarkan, bila saya akan menulis otobiografi, saya akan tulis dalam bentuk "Dia". Berikutnya amatlah mudah hanya materi bahasa saja dan suasana tekanannya dimana, tak setiap bentuk "Saya" dalam buku selalu sama.

(Tuan Böll, kalau saya tak salah, anda belum pernah menulis sajak- mengapa?)

Saya sudah pernah menulis sajak.

(Saya belum pernah membaca sebuahpun?)

Beberapa sudah saya terbitkan, bahkan beberapa tahun silam, memakai nama samaran: dalam cetakan yang terbatas. Saya dulu waktu masih muda banyak menulis sajak dan terus saja menulis sajak itu.

(Tapi dengan nama samaran apakah tidak sia-sia?)

Kemudian memakai nama saya - beberapa diantaranya juga saya buang, tapi saya masih menulis beberapa. Saya melihat sesuatu pada diri saya.

(Tuan Böll, pada setiap roman anda terdapat beberapa versi, saya tahu, ada lima, enam versi yang berbeda. Yang membuat saya penasaran: bagaimana arah jalan dari versi pertama yang tak terkoreksi sampai ke lima, terakhir, versi yang sudah dikoreksi: Apakah anda merubahnya terutama agar agak formil, atau membiarkan begitu saja tak terartikan secara tepat.)

Sulit untuk menerangkannya, saya akan mencobanya. Tentunya ada yang tak setiap lima, enam versi, kadang ada dua, tiga, empat - minimal katakanlah tiga. Itu artinya bukan setiap versi ditulis seluruhnya baru. Saya akan coba untuk menjelaskannya. Ada langkah yang berbeda yang kadang terlalu jauh melaju, dan saya harus menarik kembali dari keseluruhannya dan memulai lagi dari depan. Katakanlah tujuan khususnya mengambang, bila anda mengukur dengan secara geografi, ambillah geografi yang datar - kita katakan saja misalnya, saya akan pergi ke gereja St.Peter di kota Köln, saya dapat saja mencapai tujuan itu dengan berbagai jalur, dan saya bisa saja mengulur waktu yang berbeda-beda dari berbagai tempat lain untuk mendekatinya - dalam pemahaman ini saya perlu berbagai langkah, ukuran waktu, kadang saya berhasil dari segi waktu, berhasil menghadapi rintangan di jalan, yang keduanya harus saya urus, mengertikah anda, saya akan mencoba memberi tekanan yang sangat jelas. - dan kami katakan, orang-orang pelaku yang usil masuk ke dalam sebuah roman, berhamburan, itu harus dikeluarkan. Dengan demikian tak akan berakibat pada sebuah komposisi baru seluruhnya. Dalam pemahaman inilah disebut versi baru.

(Apakah versi terakhir pada umumnya selalu lebih pendek dari yang pertama?)

Ya, tentu jauh lebih pendek.

(Apakah kasus itu berlaku secara umum?)

Ya, pada umumnya kasusnya begitu. Dasarnya adalah konsentrasi pada peristiwa utama, yang berbagai versi, yang dirasa akan mubazir harus dikeluarkan, lalu bagian mubazir yang mana yang masih saya pertahankan -apakah itu mubazir, mudah-mudahan daya pikirlah yang memutuskan...

(...Tak bisa diperinci lagi?)

Ya, sudah terlambat. Tapi itu saya putuskan sendiri.

(Tuan Böll, Franqois Mauriac, yang anda puja itu, seperti yang saya perkirakan, telah menyebut sebuah roman adalah "sebuah bentuk sastra yang tersempurna" (vollkommenste literarische Form). Anda sendiri pernah mengatakan - saya kutip sekarang: "Cerpen adalah selalu yang terindah dari seluruh bentuk-bentuk prosa" (Die Kurzgeschichte ist immer noch die schönste aller Prosaformen). Anda masih mempertahankan keyakinan itu, siapa yang benar: Mauriac atau Böll?)

Saya tak berpikir, bahwa sebuah pertanyaan, apakah Mauriac benar atau saya. Saya tetap dalam pendirian saya, dan saya pikir, sangatlah sepele semata-mata hanya perbedaan nasional saja - maaf dengan kata "nasional" (national) dalam hubungannya -, dengan tradisi roman Perancis, yang sudah amat awal dimulai dan juga pada abad 19 dengan Stenhal dan Balzac dan Flaubert yang telah berhasil dengan gemilang - di Perancis mungkin Roman sebagai bentuk Prosa yang paling di tekankan, di Jerman berbeda.

(Tapi bukankah hal yang mudah untuk dikatakan, bila Cerpen adalah bentuk khas Amerika?)

Tidak, saya pikir lebih dulu - adalah sebuah teori, yang hanya bisa saya buktikan dalam masalah ini (ad hoc) -, bahwa Cerpen Amerika melewati jalan yang berputar ke Jerman baru menuju ke Amerika - cikal bakalnya - pengaruh Romantik, termasuk dongeng, dan semua bentuk sejenisnya. Di Inggris bentuk prosa pendek juga menjadi idaman. Mungkin sekali karena berhubungan erat dengan pengandaian faktor bahasa, yang mudah - sebut saja begitu - bahasa dengan keselarasan bahasa Jerman ada kecenderungan. Di Jerman saya sangat yakin, bahwa Cerpen, Dongeng, atau seperti biasanya orang menamainya - ada banyak bentuknya - seperti yang saya utarakan bagi kami sebagai tekanan dalam bahasa Jerman, sementara bagi orang Perancis, dongeng, cerita juga, apakah itu cerita pendek atau panjang, dulunya tak pernah menarik. Itu bedanya. Saya tak percaya sama sekali, orang bisa mengartikan dari seluruh perbedaan itu secara tepat.

(Bukan untuk mencari penemunya, tak bisa di pukul rata saja?)

Tidak, hal itu selalu subjektif, bagi saya Cerpen merupakan bentuk yang terkuat dalam Prosa.

(Tuan Böll, anda pernah mengatakan saat membacakan "Wuppertaler Rede" di tahun 1958, bahwa anda sebagai pecinta yang bernafsu pada bahasa. Sekarang sebagai pecinta bahasa yang bernafsu, bila anda memposisikan "tehnik pencapaian pengertian" (terminus technicus), sebuah bentuk erotik. Apakah kalau dihubungkan dengan penulis Böll, bahasanya juga erotis?)

Saya pikir, ya. Saya tak bisa menjawab yang begitu saling erat hubungannya, bisa saja nanti berbeda. Erotik mungkin berhubungan dengan bentuk, apa yang saya katakan: langkah, untuk mendekatkan. Pendekatan itu ya juga sebuah pengertian erotis. Perebutan adalah sebuah pengertian erotis, yang berlaku untuk militer juga, satu diatas yang lainnya. Saya pikir itu sebuah bentuk perebutan dengan bahasa, tujuan, dan itu merupakan sebuah peristiwa erotis yang murni, dan kadang bahkan tak berhasil, oleh karenanya menjadi roman yang bernasib buruk, yang hilang, tak berhasil dalam percobaan perebutan.... Hal itu bisa disebut sebagai peristiwa erotis. Saya pikir, anda benar.

(Sebuah roman muncul kapanpun, bagaimanapun, dimanapun. Waktu yang tepat, barangkali penulis sendiri tak mengetahui saat itu, bahwa dia akhirnya akan selesai? Sejak dari awal prosesnya, memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun lamanya, bisakah hal itu di tetapkan, di rumuskan?)

Ya, tiba-tiba sampai ke tema itu, katakanlah, sebuah ide, yang tak penting, ide itu hanyalah sebuah perumpamaan, dan untuk ide itu saya perlukan- ya, bagaimana saya menyebutnya? Bukan lingkungan, bukan medan - saya perlukan tempat khusus yang cocok. Saya tak bisa menerangkan sebuah contoh. Bila anda mengambil contoh roman "Diamnya Doktor Murkes" (Doktor Murkes gesammeltes Schweigen), dimana ide diam ini sangat penting peranannya, untuk roman itu, saya perlu waktu dua tahun, untuk mencari tempat yang cocok. Tentu saja tempatnya di stasiun penyiaran radio dan TV atau tempat yang cocok dengan lingkungan ini, tapi untuk menemukan orang-orangnya, suasana, cuaca, semuanya - bisa memakan waktu dua, tiga tahun, bila itu berhasil, itu merupakan sebuah bagian dalam peristiwa yang murni, sejarah yang cepat selesai ditulis, mungkin dalam dua, tiga hari saja. Tapi tentu begitu banyak roman, yang menyangkut di kepala saya dan lupa lagi dan tak sempat ditulis, dimana idenya hilang, dimana kita tak bisa katakan padanya, dimana hubungan erotisnya tak terjadi. Waktu yang tepat dapat saya katakan, bila saya sudah akan menulis catatan-catatan: hari ini dan ada ide - apa yang saya tak lakukan.

(Anda tak membuat buku harian?)

Tidak

(Seorang penulis yang tidak membuat buku harian, Tuan Böll, rasanya tak umum - atau?)

Saya harus koreksi sesuatu, tak pakai buku harian, dalam pengertian kata-kata dalam buku harian - meskipun tak pakai, berisi juga masalah-masalah terdalam saya atau informasi-informasi sesuatu, pada seseorang yang simpatik. Saya membuat buku harian dalam bathin - katakanlah sebuah pekerjaan yang membuang-buang waktu saja, padahal masih biasa. Jadi sederhana saja, buat catatan-catatan kapan dan apa yang telah saya lakukan dan dimana saya saat itu - hanya itu saja, cukup.

(Apakah bisa menyelesaikan dengan tepat?)

Tidak, tidak - karena saya pada usia yang tertentu, kalau 10 tahun lalu, saya pikir: Oh Tuhan, apa yang sebenarnya kau lakukan sepanjang waktu?

(Sekarang, anda senantiasa telah begitu banyak berbuat?)

Ya, tentu, tapi saya ingin mengoreksi diri sendiri - kapan dan dimana saya, apa yang telah saya perbuat dan sebagainya.

(Jadi buku harian anda juga sebuah pedoman yang bisa buat buku?)

Ya.

(Kalau begitu tak perlu ada pengarang?)

Bukan, tak ada hubungannya dengan penulis sama sekali, benar-benar membosankan untuk masalah yang sepele saja memerlukan buku catatan, yang tak ada sangkut pautnya dengan karya saya.

(Tuan Böll, bolehkah saya membacakan sebuah kalimat untuk anda - kalimat itu bunyinya: "Pada hari, Hedwig tiba, adalah hari Senin, dan pada Senin pagi itu, sebelum pemilik rumah saya menyodorkan surat dari ayah di bawah pintu, saya lebih suka menutup wajah saya dengan selimut, seperti biasa saya lakukan dulu, ketika saya masih tinggal di rumah praktek kerja." (Der Tag, an dem Hedwig kam, war ein Montag, und an diesem Montag Morgen, bevor meine Wirtin mir Vatrs Brief unter die Tur schob, hätte ich mir am liebsten die Decke übers Gesicht gezogen, wie ich es früher oft tat, als ich noch im Lehrlingsheim wohnte). Masih ingatkah anda dengan kalimat ini, yang dimulai dari roman "Roti tahun silam" (Das Brot der fruhen Jahre). Sekarang, setelah saya membacakan kalimatnya, saya bertanya, siapa tokoh Hedwig itu, siapa pemilik rumah itu, siapa ayah itu, siapa "Saya" itu, dan apakah pekerjaan orang itu, yang di tulis dalam bentuk "Saya", di tempat praktek kerja. Pertanyaan saya: Bukankah itu terlalu banyak untuk ukuran satu kalimat? Saya harus berulang kali membacanya dan mencoba memahaminya, atau saya harus menyesuaikan: menunggu waktu sampai mengetahui apa yang akan datang lagi. Apakah alasan anda?)

Ya, sebenarnya saya sudah sedikit memahami dari kalimat itu, saya tak punya maksud tertentu, bagi saya kalimat itu bagaikan cara saja untuk menerangkan dari keseluruhan buku, dan apa yang sudah termuat dalam urutan isi buku. Kemungkinannya memang sulit, kalimat saja untuk di baca, sebagai bagian pertama, yang meyakinkan saya, tapi saya tak bisa banyak berbuat, mungkin saja pembaca harus membacanya dua kali.

(Anda tak menentang itu?)

Tidak, saya pikir itu benar, hanya saja sebuah hal yang sangat sulit, tapi saya pikir, itu hanyalah cara mengungkapkan dari keseluruhan buku pada kalimat pertama, kemudian sampai pada hasil karya. Dan tahukah anda, sebagai penulis saya tak terlalu memusingkan hal seperti itu, betapa sulitnya dibaca oleh pembacanya, saya tak hiraukan itu, bila anda mau, saya akan berikan tekanan tertentu dan mencari tekanan-tekanan itu, pilih lah - apa yang akan terjadi, itu bukan urusan saya lagi.

(Bisa jadi, buku terbaik dari Heinrich Böll tak dibaca orang?)

Itu bisa terjadi.

(Anda tak terganggu dengan itu?)

Tidak. Saya hanya menyesali, tapi saya tak merasa terganggu - saya harus mengekspresikan begitu.

(Tuan Böll, anda lahir tahun 1917, anda tahun 1947 berusia 30 tahun. Anda dulu kawin, anda punya anak, dan anda harus "menafkahi semua itu". Pertanyaan saya: Anda dulu seorang penulis, anda ingin jadi penulis, anda perlukan uang, anda perlukan keberhasilan - dalam situasi kerja yang memaksa seperti itu: apakah bukan menjadi hambatan? Atau bahkan justru sebagai tantangan?)

Itu sama sekali tak ada pengaruhnya - antara satu sisi dengan sisi yang lainnya. Untuk dapat hidup sebagai seorang penulis, anda tak perlu sebuah keberhasilan mutlak dari seorang penulis buku. Pada waktu dulu, saat kami memulai, generasi saya, untuk menulis, sponsor dari stasiun Radio/TV mengambil peranan penting dalam beberapa hal pokok, dan sebenarnya saya sudah menjalaninya- katakanlah kami hidup awalnya dari bekerja di stasiun Radio/TV - mulai dengan pekerjaan tukang.

(Baiklah. Kemudian pertanyaan yang lain: terganggukah pekerjaan tukang atau pekerjaan jurnalistik dianggap bukan pekerjaan penulis yang sesungguhnya?)

Saya suka pekerjaan tukang juga, tapi saya pikir, orang harus mau menerima rintangan berat itu. Saya tak pernah menyesali ketidak berhasilan, saya juga tak akan bertanggung jawab pada masyarakat. Buku saya yang pertama, saya pikir, penerbit saya - telah memerlukan waktu selama tujuh tahun, untuk menjual 3000 eksemplar buku, itu karya saya yang termasuk tak paling jelek, seperti saya yakini, dari kejadian tersebut membuat pelajaran yang berharga bagi saya, lagi pula saya telah punya, bila suatu saat terjadi peristiwa darurat, suatu saat bila pekerjaan di ambil alih, bisa juga menghidupi keluarga saya.

(Sekarang ada satu yang mengganjal saya...Anda pernah ditanya - saya tak tahu lagi siapa yang bertanya -, buku anda yang mana yang anda sendiri paling sukai, dan saya pikir, Anda dulu pernah menjawab, bahwa anda tak mau menetapkan buku yang mana, tapi kalau sekarang ada sebuah keharusan, bukankah masih pada pilihan yang berjudul "Dimana kamu, Adam?" (Wo wars du, Adam?))

Ya, itu sebagai buku yang paling saya sukai, dan itu termasuk buku berat, saya kira saya perlu waktu 10 tahun untuk membuatnya, sebelumnya, orang tak pernah menyebut sebuah keberhasilan. Aneh khan, tapi sebenarnya tak ada hubungannya dengan buku-buku yang lain, diantaranya saya juga telah berhasil dengan buku-buku yang lain, dan tetap masih apa adanya dan bahkan tak mengalami kemerosotan. Saya pikir tergantung pada penafsiran sebuah keberhasilan, dan beruntung saya tidak menjadi manja.

(Ya, adakah...)

Membuat permasalahan menjadi ringan.

(Adakah hubungan antara kwalitas karya dan keberhasilan, atau bahkan tak bisa diartikan begitu?)

Tidak, itu benar-benar tak masuk akal, sampai sekarang, saya belum menemukan analisa. Ada buku-buku yang jelek, tapi berhasil dengan gemilang, dan ada buku-buku bagus - dan juga buku-buku jelek, yang sama sekali tak mendapatkan keberhasilannya, dan buku-buku yang bagus - tak ada aturannya. Menurut yang saya ketahui, mungkin faktor keberuntungan ikut menentukan?

(Saya melompat sedikit, saya tertarik sebagai berikut: Dorothy Parker pernah berpendapat:"Paling mudah menulis orang lain, adalah pada orang yang dibenci" (Am leichtesten lässt sich über Leute schreiben, die man hasst). Bagaimana anda mencermati pernyataan diatas?)

Saya pikir, cocoknya pernyataan itu di terapkan untuk wartawan dan dalam urusan kewartawanan - ambillah contoh seseorang seperti Karl Kraus, yang menurut saya, seorang yang memuakkan, tapi sekaligus juga seorang pecinta yang agung - itu termasuk di dalamnya...

(Heinrich Mann mungkin termasuk juga?)

Ya, tapi untuk menulis orang-orang, yang dibenci, saya tak bisa bayangkan, karena saya tak seorang pun, pada orang-orang tertentu yang saya benci dan juga yang membenci karya tulis saya. Ada istilah permusuhan, ada yang disebut perseteruan, yang merupakan sebagai bukti ungkapan dan sebuah hasil karya kewartawanan, tapi saya pikir, kebencian bukan sebagai pendorong yang terbaik, dasar kecintaan juga bisa sebagai pendorong, dan memang tidak sekali saja cinta pada sesuatu lalu muncul orang-orang dalam karya itu, melainkan begitu saja sebagai - sebut saja rasa keberadaan. Bagi seorang wartawan, saya bisa membayangkan, juga untuk sebuah karya kewartawanan, yang memang pada pekerjaannya dan dengan dasar tertentu sehingga membenci orang-orang tertentu pula - bagi seorang pendongeng cerita - kebencian bisa saja muncul, penampilan, semangat jaman, masalah-masalah politik, masalah-masalah masyarakat, tapi tak pernah menyangkut orang-orangnya, yang dia benci, untuk di tampilkan dengan jelas - saya pikir tak begitu.

(Tuan Böll, Pertanyaan saya yang terakhir: Kita sudah saling mengenal cukup lama dan saya tahu, bahwa anda sebenarnya tak menyukai jenis tanya-jawab atau perbincangan seperti ini. Mengapa anda lakukan sekarang?)

Pada prinsipnya saya lakukan juga, kadang-kadang berlawanan terhadap keyakinan saya, karena bagi saya sudah cukup jelas, karena saya terpaksa menjawabnya, dengan jawaban itu sudah menjadi beberapa penjelasan juga bagi saya sendiri, dan karena saya harap, juga bagi yang lainnya mengerti jawaban yang jelas dari saya itu.

Diterjemahkan oleh: Kang Bondet

15 Januari 2002 - 22:42 "Laki-laki Tua" Hemingway Meninggal di Kuba Eka Kurniawan

15 Januari 2002 - 22:42

"Laki-laki Tua" Hemingway Meninggal di Kuba
Eka Kurniawan

Nelayan Kuba yang memberi indpirasi bagi novel Ernest Hemingway, "Laki-laki Tua dan Laut", meninggal pada umur 104 tahun. "Segala hal mengenainya tampak tua kecuali matanya dan kedua mata itu memiliki warna seperti lauy," begitu deskripsi Hemingway tentang si Laki-laki Tua.

Gregorio Fuentes merupakan kapten kapal Hemingway, "Pilar" selama tahun-tahu Hemingway tinggal di Kuba, dan mengembangkan satu persahabatan yang erat dengan sang penulis. Sangat jelas bahwa model karakter utama novel peraih Nobel Kesusastraan 1952 itu adalah Fuentes.

Novel klasik ini berkisah tentang perjuangan gila seorang nelayan tua Kuba untuk menangkap ikan secara sempurna. Klimaks buku ini terdapat pada pertarungan tiga harinya melawan seekor ikan marlin yang berhasil ia tangkap, dan berakhir dengan nada ironis khas Hemingway ketika ia berhasil menyeret ikan tersebut ke pantai namun habis digerogoti ikan-ikan hiu.

Dalam kehidupan nyata, Fuentes merupakan kapten dan juru masak Hemingway selama 30 tahun, mengemudikan kapalnya dan mempersiapkan koktil-koktilnya. Ia meninggal di rumah tempatnya selalu tinggal. Ia menderita kangker.

Sang nelayan lahir di Lanzarote di Pulau Canary tahun 1897. Ia berkelana ke Kuba ketika ayahnya, yang merupakan juru masak kapal, meninggal di luar negeri. Fuentes yang baru berumur enam tahun diambil oleh imigran pulau Canary lainnya.

Ia berjumpa dengan Hemingway tahun 1928, dan tahun 1930-an sang penulis menyewa kapalnya. Fuentes teringat saat ketika Hemingway akhirnya kembali ke Amerika Serikat, 1960, setahun sebelum memutuskan bunuh diri. "Jaga dirimu baik-baik sebagaimana kau tahu caranya," ia ingat apa yang dikatakan sang penulis.

Sang nelayan kemudian memberikan kapal "Pilar" kepada pemerintah Kuba. Kapal itu dipajang di depan rumah Hemingway di luar kota Havana. Di tahun-tahun belakangan, Fuentes memperagakan atraksi bagi turis di desa Cojimar, mengenang "Laki-laki Tua dan Laut", di mana ia hidup hampir sepanjang hidupnya.

"Ia merupakan simbol nelayan Kuba dan persaudaraan, terima kasih untuk seluruh tahun-tahun persahabatannya dengan Hemingway," kata temannya, Jose Miguel Diaz Escrich.

Sastra Arab dalam Karya Goethe Aguk Irawan Mn.

Sastra Arab dalam Karya Goethe
Aguk Irawan Mn.

Bagi yang ingin memahami penyair
Maka pergilah ke rumah-rumah mereka
Mereka akan memilih hidup di negri Timur
Tatkala mengetahui bahwa yang lama, itu juga yang baru

Goethe, Penggalan Syair “Permintaan Maaf”

Sangatlah besar penghargaan Goethe terhadap karya satra Arab, membuktikan kedekatannya secara pribadi dengan warna dan nilai sastra maha tinggi ini. Dalam beberapa puisi, Goethe terkesan mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada bangsa Arab karena cukup mengilhami dan mengkontribusikan warna sastra tersendiri dalam karya-karyanya.

Perkenalan Goethe dengan sastra Arab, secara intensif bermula semenjak ia sebagai mahasiswa di Universitas Leipzig, tahun 1761 atau pertengahan abad ke XVIII. Saat Barat menyemarakkan studi-studi antropologis dan ekspedisi-ekspedisi geografis ke daratan Arab. Dalam buku ke enam dari “Puisi dan cinta”, Goethe mencatat perhatian besarnya pada hasil-hasil ekspedisi itu. Terutama pada Carsten Neibhur yang pernah megunjungi Mesir, Yaman dan daerah-daerah Arab lainnya (1767). Buku Nibhur yang paling ia kagumi, berjudul “Beschreibungen von Arabien” atau Deskripsi tentang negara-negara Arab, (1767) dan dua jilid buku berjudul “Reisebeschreibung nach Arabein und anderen umliegenden laendern” atau Investigasi deskriptif ke negara-negara Arab dan sekitarnya, (Kophenhagen 1774, 1778). Dua buku ini mengilhami Goethe dalam satu karya drama berjudul “Muhammad” ia tampilkan di theatre Voltaire tahun 1800. Goethe mempelajari kesusastraan Timur, tentunya tidak hanya dari Nibhur, tapi juga dari beberapa pakar kebudayaan Arab lain yang sering ia sebut. Di antaranya Peitro della Valle (1587-1652), Jean Baptiste Tavernier (1605-1689), dan Khususnya Jean Chevalier de Chardin (1643-1713) yang banyak mengumpulkan khazanah sastra arab.

Di Leipzig, Goethe lebih mencurahkan perhatiannya pada sastra petualangan. Saat itulah Goethe mulai berkenalan dengan Al-Mutanabbi, penyair sufi populer di kalangan Islam, dari satu kasidah yang diterjemahkan Johann Jacob Reiske, seorang pakar bahasa arab pada masa itu. Perhatian Goethe pada sastra Arab tidak di Leipzig saja, namun kedekatannya dengan Timur berkembang ketika di Strassburg, di Universitas ini ia bertemu Johann Gottfried Herder, kakak kelasnya yang juga seorang pakar kebudayaan Timur, Herderlah yang mengarahkan Goethe mendalami bahasa Arab, sastra Arab jahili, sastra Islam dan mempelajari Al-Qur’an.

Meski demikian, tidak banyak yang mengakui kedekatan Goethe dengan dunia sastra timur. Fritz Strich dalam bukunya “Gothe dan Kesusastraan Dunia” (1946. 2. verb. U. erg. Auflage 1957), menyatakan tidak menemukuan bukti empiris pengaruh sastra Arab lama dalam karya-karya Gothe. Tapi bila ditelusuri lebih jauh satu karya monumental Gothe yang ia sebut “Ontologi Puisi Timur”, sangat jelas warna dan nuansa sastra timur terasa mendominasi gaya dan settingnya.

Katharina Momsen, dalam bukunya “Gothe dan Seribu Satu Malam” (1981) mengungkap keterkesanan Gothe akan dunia sastra timur. Ini terlihat dari dialog intensif Gothe dengan karya-karya puisi agung jahili yang diabadikan dengan nama “Mu’allaqaat As-Sab’a” (7 kasidah cinta emas) dan salah satu cerita rakyat (safar) Arab yang dikenal dengan “Seribu Satu Malam”. Demikian juga kagumanya akan sederet nama penyair Arab jahili, Imru Al-Qays, Amru bin Kultsum, Antara, Al-harits, Hatim Al-Tha’i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi’ah, Tharfa bin ‘Abd, dan Zuhair bin Salma. Untuk itu, tulisan singkat ini mencoba menggali warna dan ruh sastra arab dalam karya-karya Gothe, mungkinkah hal ini mengindikasikan lintas budaya Arab khususnya Islam dengan kebudayaan pada masa Gothe.

Goethe dan Seribu Satu Malam
Tidak diragukan lagi hubungan erat Gothe dengan cerita rakyat ini. Satu khazanah sastra yang mendapat penghargaan besar dari bangsanya sendiri dan diklasifikasikan sebagai salah satu “Buku Ibu” sastra tradisional Arab. Katharina Momsen menyebutkan, kisah ini mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya Gothe. Ia mulai tertarik dengan cerita-cerita itu semenjak kecil dari Ibu dan neneknya. Sehingga wajar kisah sastra milik bangsa Arab ini memiliki tempat tersendiri di hati Gothe. Tidak dari sisi pembahasaan saja, tapi juga isi, pola penulisan dan nilainya.

Dalam beberapa puisinya, Gothe banyak menyebut “Syahrazaad” (tokoh pencerita dalam Seribu Satu malam). Memerankannya untuk mengungkapkan perasaan tertentu. Seseorang yang mengkritisi kumpulan karya Gothe, akan menemui suatu pola penulisan baru yang selalu ia gunakan. Gothe dalam beberapa karyanya sengaja membanding-bandingkan diri kepenyairan dengan Syarazaad, yang dengan begitu ia mendapati sisi-sisi unik kepenyairan dalam karakteristik Syahrazaad. Hal ini sangat mempengaruhi cara penulisan cerita Gothe. Salah satu novel terkenalnya “Wilhelm Meisters Wanderjahre” (Tahun-tahun pengembaraan di Wilhelm Meisters), cukup membingungkan para kritikus yang mencoba mengidentifikasi dasar bangunan dan komposisi cerita. Penulisan novel ini terkesan tidak terikat dengan kaidah tertentu, bebas dan lepas. Sehingga membutuhkan penelusuran lain dari sisi kesatuan cerita dan keterkaitannya satu sama lain. Namun pencarian ini tidak akan menemukan hasil yang tepat, karena dalam menulisnya, Gothe mengakui menggunakan pola penceritaan Syahrazaad dalam Seribu Satu Malam.

Novel ini ia serahkan kepada khlayak tidak dalam bentuk karya lengkap dan tuntas, namun disajikan dalam beberapa edisi dan bersambung. Berbentuk cerber atau drama dalam beberapa babak. Hal ini menurutnya demi menekankan keutuhan isi dan susunan bahasa pada setiap bagian cerita, dengan begitu kalayak akan mendapati kesan tersendiri dalam keindahan bahasa dan isinya. Pola penulisan ini juga ia gunakan dalam “Unterhaltungen Deutscher Ausgewanderten” (Percakapan Para Pengungsi Jerman). Karya ini ia sajikan seperti Seribu Satu Malam, bersambung dan terbagi dalam beberapa edisi. Menekankan hanya satu peristiwa dalam tiap bagian cerita, dan demikian selanjutnya dalam beberapa edisi. Karyanya yang lain dengan pola penulisan yang sama adalah “Puisi dan Hakikat” dan “Selama Perjalanan ke Italia”.

Tentunya keterpengaruhan Gothe oleh Seribu Satu Malam tidak melulu dalam pola penulisan, namun terkadang ia juga meminjam tema, judul cerita dan penokohan dari Seribu Satu Malam. Bahkan dalam satu drama yang ia tulis ketika masih muda berjudul “Fantasi Pecinta”, salah satu tokohnya bernama Aminah, ia ambil dari cerita Seribu Satu Malam. Di sini ia tidak hanya menggunakan nama tokoh, tapi juga memerankan Aminah sesuai setting dan karakteristik yang diperankan dalam Seribu Satu Malam. Nuansa drama ini terkesan disominasi karya sastra milik bangsa Arab itu.

Goethe Dan Sastra Jahili
Orang pertama mengenalkan dunia barat dengan sastra Arab jahili adalah, William Jones (1746-1794), dengan bukunya, “Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex” atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang di terbitkan tahun 1774. Semenjak itu karya ini mewarnai wacanaa sastra Barat dengan bertebarannya bentuk asli juga terjemahan-terjemahannya.

Dalam banyak hal, Goethe nampak mecurahkan segenap perhatiannya pada kreatifitas bangsa Jahili itu. Ini bisa kita baca dari ungkapannya. “Bangsa Arab adalah bangsa yang membangun kebesarannya dari warisan sejarah moyang dan memegang teguh adat istiadat yang mereka anut semenjak dahulu kala.”

Beberapa hal yang membuat Gothe jatuh hati pada sastra jahili. Pertama, ciri-ciri umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan dan cara hidup. Begitu juga ketinggian bahasa yang mampu menghiasi sesuatu menjadi begitu indah dengan bahasa-bahasa singkat. Selain itu, keterpautannya dengan alam, penggambaran tentang gairah hidup, tanggung jawab, keabadian cinta, kesetiaan, pengorbanan, kepatuhan dan keteguhan mereka memegang kepercayaan. Ciri-ciri ini didukung kondisi alam dan bentuk sektarian struktur sosial Arab. Seperti banyaknya pertikaian antar etnis yang memunculkan peran-peran keperwiraan dan kejantanan dalam puisi-puisi jahili. Demikian juga cara hidup nomaden. Sehingga hampir keseluruhan sastra jahili berbentuk sastra petualangan.

Buku Zulikha, yang ia tulis setelah berpisah dengan Marianne Willemer sang kekasih (1815), sangat mirip dengan langgam puisi Imru’ Al-Qays.

26 September 2001


http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=560

>Sabtu, 9 Maret 2002 "Opera Diponegoro" Humanisme di Tengah Peperangan

>Sabtu, 9 Maret 2002

"Opera Diponegoro"
Humanisme di Tengah Peperangan

KOBOI berkuda (kepang) putih itu mendadak nyelonong di tengah kerumunan serdadu Belanda dan rakyat jelata yang akan dieksekusi. Si koboi yang bertopi, berbaju kotak-kotak dan celana jins bicara casciscus: "I wanna seek Osama bin Laden. He's a dangerous, very dangerous man. You know?" katanya. Ia sesekali menelepon lewat telepon genggam, mungkin tengah berhubungan dengan pusat intelijen di AS.
Nama Osama bin Laden yang tengah diburu si koboi (intel AS) di Jawa, segera diplesetkan para pribumi itu sebagai hendak mencari tenaga tukang laden (Jawa: pelayan). Mereka pun beramai-ramai memasang jenggot palsu, karena disangka bahwa yang dibutuhkan TKI berjenggot...

Adegan kocak itu muncul dalam Opera Diponegoro (OD) yang dipentaskan ulang di Auditorium RRI Surakarta, 1-5 Maret 2002. Sukses yang dipetik OD tentu bukan semata-mata lantaran Sardono W Kusumo menyelipkan adegan-adegan kocak, tetapi karena nilai kontekstualnya.

Masuknya tokoh "intel AS", juga tokoh "wartawan perang" peliput dalam OD kali ini, tak lain adalah siasat Sardono untuk lebih mengaktualisasikan pesan dan gagasannya akan tema kemanusiaan dan perdamaian dari perjuangan Diponegoro sendiri. Sekalipun tidak lepas dari kerangka, penyajiannya di panggung kadang terasa agak artifisial.

Bagi Sardono yang berpegang pada konsep "teatralisasi sebuah gagasan (besar) lebih utama daripada sekadar bentuk", OD niscaya menjadi wahana bagi obsesinya untuk melakukan kampanye antikekerasan.

"Apakah kamu bisa membuktikan apa kesalahan Diponegoro? Apakah betul bahwa Diponegoro seorang tokoh teroris? Lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan oleh peperangan ini?" Pertanyaan menggugat yang dilontarkan tokoh Surobrojo ini jelas relevan disampaikan kapan saja.

Wartawan

Munculnya tokoh wartawan, sebagaimana dituturkan Sardono yang mengutip Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta, laporan tentang situasi perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro itu ditulis hanya selang dua pekan setelah perang berlangsung. Laporan berbentuk babad itu dinilai tak ubahnya sebagai bentuk jurnalistik. Sekaligus memberi makna Kota Solo sebagai perintis penerbitan pers di Indonesia.

Wartawan perang itu, yang diperankan Hanindawan, menjadi sosok segar yang mampu melintas ruang dan waktu. Maka ia memberi logika hadirnya "intel AS". Sekali waktu ia bertindak selaku narator yang memberitahu penonton bahwa eksekusi atas Surobrojo, serdadu kompeni yang mbalelo, benar-benar tercatat dalam Babad Diponegoro.

Ia pun hadir di tengah-tengah peperangan yang baru saja usai. Dan menjadi saksi akan kepiluan hati Diponegoro yang menyesali akibat peperangan. Perang Jawa (1825-1830) yang dia kobarkan ternyata memakan korban nyawa sanak-saudara, tetangga dan bangsanya sendiri.

Pemberontakannya terhadap penindasan pemerintah kolonial Belanda, memperhadapkan para prajurit Diponegoro dengan prajurit dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang sesungguhnya masih kerabatnya sendiri. Menurut catatan, 200.000 pribumi dan 7.000 prajurit Belanda tewas.

Diponegoro digambarkan hancur hatinya. Ia pun minta dipapah, dan wartawan tadi membantunya menutup mata sang pangeran dengan kain hitam lantaran tak tega menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan, di antaranya bahkan para perempuan yang menyamar sebagai prajurit laki-laki. Sebuah tembang Megatruh mengalun pilu mengantar kepergiannya.

Humanis

Bagi Sardono (57), yang mendasarkan penyusunan repertoar OD dari tak kurang 20 naskah referensi; sekalipun Diponegoro dikenal sebagai pejuang yang melawan penindasan yang dilakukan oleh sistem kolonial Belanda, Diponegoro sesungguhnya sosok yang humanis dan pejuang HAM.

"Sekalipun dalam perjuangannya ia banyak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi dalam banyak hal Diponegoro-seperti tertulis dalam otobiografi yang ditulisnya sendiri-menentang segala bentuk kekerasan. Platform perjuangannya sesungguhnya bersifat universal," tuturnya. Fakta itu, lanjutnya, merupakan counter terhadap fenomena kekerasan yang menyangkut citra Islam di masyarakat akhir-akhir ini.

Diponegoro dilukiskan menolak Wali Sanga yang membaiatnya sebagai pemimpin perang yang akan membebaskan tanah Jawa dari belenggu penjajahan, sebab kalbunya menolak kekerasan. Tawaran dari Penguasa Laut Selatan yang akan membantunya dalam peperangan, pun ditampiknya.

Ia juga menolak godaan wanita (jin?) dan sebaliknya pasrah kepada pertolongan Tuhan. Ini untuk menggambarkan keimanan Diponegoro yang kuat terhadap agama (Islam). Ini sekaligus memberikan gambaran sikap toleran seorang pemimpin umat-ia mendapat gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Kalifah Rasulullah-terhadap keberagaman atau pluralisme. Dalam OD ini, digambarkan bahwa sebagai Muslim, Diponegoro secara tak langsung menghormati keberadaan sistem kepercayaan yang hidup di masyarakat saat itu, yang masih dikuasai gugon-tuhon dan mistik.

Esensi perjuangan Diponegoro yang universal ternyata bergema di mana-mana. Menurut catatan, surat kabar Le Monde terbitan Paris tahun 1840 memuat simpati kalangan intelektual Eropa terhadap perjuangan Diponegoro, dan di sisi lain mereka memprotes sistem kolonialisme yang diterapkan oleh Kerajaan Belanda di tanah Jawa (Indonesia).

"Para intelektual Eropa itu jelas bukan berasal dari Islam tetapi dari kalangan Katolik, Protestan, Cauvinis. Itu membuktikan bahwa perjuangan Diponegoro tidak mengenal wilayah agama," ujar Sardono. (Ardus M Sawega)

Chusin Merusak Realisme Lukisan

>Sabtu, 9 Maret 2002

Chusin Merusak Realisme Lukisan

IKAN asin terpotong di dalam bingkai-bingkai persegi. Tubuh perempuan demikian juga, bingkai-bingkai yang memuat potongan-potongan gambar itu menjadi seperti permainan puzzle. Ada juga karya yang sebagian digarap sepenuhnya dengan cat berwarna-warni, sebagian lain hanya dengan arang.
Itulah Chusin Setiadikara (53), seorang pelukis yang piawai membuat gambar-gambar yang tepat seperti dipandang oleh mata kamera. Tetapi, ia tidak hanya memindahkan wujud fotografis itu ke atas kanvas. Ia juga menggubahnya, menyutradarai adegan, memadu berbagai unsur, menggarap suasana, atau mengakali kanvasnya, sehingga memunculkan pemandangan dan kehidupan baru.

Kisah Chusin menggenapi cerita panjang seni lukis bergaya realisme di Indonesia. Puluhan tahun ia terlatih di dalam bahasa realisme fotografis tersebut, dan sekitar 10 tahun terakhir secara bersungguh-sungguh ia mencari jalan baru.

Pamerannya di Galeri Nasional, Jakarta, 20 Februari-6 Maret 2002, menunjukkan kepercayaannya bahwa bahasa visual tersebut tidak macet. Ia bisa menggunakannya untuk suatu tujuan yang berada di luar tradisi gaya seni itu, sebuah dunia lain yang belum jelas benar ujungnya namun sungguh patut untuk ditekuni.

Pernyataan seni ini ia harapkan bisa bergaung pula ke kawasan lain dengan memindahkan pameran ke Washington DC, 7 Juni-15 Juli 2002. Kegiatan seni di Amerika Serikat itu mengambil tempat di CP Artspace, di mana sebelumnya telah berpameran tunggal Sunaryo dan disusul Entang Wiharso.

Bekal kemampuan teknis mencipta rupa realistik pada Chusin diiring oleh kesenangannya memotret. Ia berkali-kali memotret Pasar Kintamani, Denpasar. Dari foto-foto itulah ia menggubah Pasar Kintamani I (1994), yang bukan hanya memberi suasana sebuah pasar tradisional yang segera digusur, tetapi juga pengalaman visual yang hebat. Ia menggambar anak tangga yang menurun menuju kerumunan pedagang dan pembeli. Dalam pameran, lukisan itu dipajang menjorok masuk ke dinding, memberi dimensi baru yang menempatkan pelihat pada anak tangga yang lebih tinggi lagi.

Topik yang juga ia sukai adalah ikan asin. Ia melihat ikan asin bisa mewakili gambaran sebagian masyarakat Indonesia, cukup bergizi dan harganya terjangkau. Dengan membaginya di dalam lima panel (Ikan Asin Tahun 2000, 2000) atau memisahkannya di dalam tiga bidang (Cukup untuk Beli Ikan Asin, 1999), ia seperti ingin menandai adanya sekat-sekat di dalam pergaulan masyarakat. Bisa juga pemisahan itu berfungsi estetik, membuyarkan "rasa" realistik untuk memunculkan gejala rupa yang lebih mendukung. Akibatnya penikmatan terganggu.

Penyekatan atau pemisahan lewat bingkai-bingkai seperti itu memang muncul dalam sejumlah karya. Tujuannya bisa perlambang, mungkin sekadar tanda-tanda sosial atau kultural, atau kebutuhan estetik, dan boleh jadi gabungan dari berbagai fungsi tersebut.

Pada Disharmony (1999) penyekatan itu bisa berfungsi estetik maupun perlambang. Ini merupakan karya "instalasi" yang menggunakan lukisan sebagai unsur-unsurnya. Lukisan itu berupa seorang perempuan menyandarkan kepala ke lengan memegang setangkai mawar yang menunduk itu terbagi di dalam sembilan kotak mirip perangkap atau terali penjara. Di bagian bawah muncul tangan kekar memegang sabit atau celurit. Pada samping kanannya lebih jelas muncul sosok perempuan dengan mulut diplester, dan di atas sebagian wajah dalam gelap.

Apakah ia tengah berbicara tentang nasib perempuan atau kaum terpinggirkan atau minoritas oleh sistem yang menindas? Kalau benar sangat mungkin ia dipicu oleh kerusuhan Mei 1998, dan sama berdaya guna dengan berbagai gaya ungkap yang dilakukan oleh sejumlah seniman lain dalam topik serupa.

Selain instalasi, ia juga menempelkan foto seperti pada Star Track (1997). Lukisan itu juga memberi contoh kesukaannya menggabungkan berbagai ciri lukisan, yaitu realistik dengan model dua gadis berkain Bali, dan lukisan serba pipih dari tradisi lukisan Bali. Misinya tentu ingin menggambarkan betapa Bali (atau Indonesia?) menghidupi berbagai bentuk kebudayaan pada waktu bersamaan. Atau, keragaman budaya adalah keniscayaan.

Yang juga banyak mendapat sorotan pengunjung sepanjang dua pekan pamerannya di Jakarta adalah kesukaannya menggabungkan drawing dan lukisan. Pada sejumlah kanvasnya muncul penggambaran yang "selesai" dengan cat minyak berwarna-warni, dan disandingkan begitu saja dengan arsiran lewat arang. Seorang pria pedagang di pasar bahkan tampak sebagian jaketnya berupa lukisan, separuhnya hanya jejak-jejak garis hitam arang.

Dalam hal ini tampaknya langkah penggabungan itu lebih sebagai pernyataan seni: ia tidak membedakan antara lukisan dan drawing, sebuah tindakan yang juga dilakukan sejumlah seniman.


***
UPAYA Chusin lebih menarik ketika ia mengganggu karyanya yang-bagi orang lain-sudah rampung atau praktis selesai. Gangguan itu tidak sekadar membaginya ke dalam bingkai, menyekat, atau memotong-motong citranya, sehingga penikmatan terganggu.

Chusin memang tidak se-ekstrem para pembuat hiasan bade. Para seniman Bali itu sadar bahwa mereka berkarya khusus untuk dibakar bersama jenazah di tengah upacara ngaben, namun, toh, mereka melakukannya sepenuh hati.

Apa yang Chusin lakukan adalah "merusak" lukisannya sendiri. Ia merusak justru untuk membuatnya sempurna, sebuah laku perbalikan atau peloncatan makna yang sangat menarik.

"Saya harus melakukannya, kalau tidak saya akan tetap menganggap karya saya belum selesai, dan saya akan gelisah terus," tuturnya menunjuk Gadis Kebaya Merah (2001) di ruang pameran.

Tampak di kanvas berukuran 118 cm x 150 cm itu seorang gadis berkebaya merah dan sarung biru dan seorang gadis telanjang. Keduanya tampil sempurna, selesai sampai rincian paling lembut. Sapuan cat warna putih keabuan yang tak beraturan melanda latar, melingkupi si gadis berkebaya, dan tanpa ampun menerjang tubuh bugil yang terletak di atasnya.

Membuat lukisan berisi dua perempuan tersebut memakan waktu panjang. Mencari ide tentang sentuhan akhir itu butuh waktu berbulan-bulan. Ketika Kompas berkunjung ke rumah dan studionya di Bali tahun lalu, ia sudah dua bulan selalu termangu di depan kanvas yang sudah memberi pemandangan hebat. Apa yang ingin ia lakukan memang mengerikan: menghancurkan lukisan yang bagus.

Ketika ketemu cara "menghancurkan" itu, pelaksanaannya sangat singkat. Katanya, "cukup 10 menit saya mainkan kuas, selesai."

Sapuan cat transparan putih keabuan itu menghancurkan komposisi lama, merusak semua hal yang serba rapi dan tertib. Dengan itu muncullah keseimbangan baru: sifat tak beraturan yang menyatu dengan semua unsur yang serba tertib.


***
APAKAH dengan mengganggu penikmatan, membuyarkan citra realistik, dan "menghancurkan" keindahan visual bahasa rupa realistik itu, ia akan melaju di dalam percaturan seni lebih lanjut?

"Saya akan terus mencoba. Saat ini tentu saya belum tahu lagi harus melakukan apa kecuali terus melukis, siapa tahu saya akan menemukan sesuatu nanti," tuturnya. (EFIX)