Minggu, 26 Juli 2009

Situs [aikon!] BLACK TENT THEATER WOYZECK JERMAN, RASA JEPANG

Situs [aikon!]

BLACK TENT THEATER
WOYZECK JERMAN, RASA JEPANG


Graha Bhakti Budaya-TIM
12-13 September 2001, pukul 20.00 WIB
Kelompok Seni : Black Tent Theater (Teater Kontemporer)
Asal : Jepang
Judul : Woyzeck
Pengarang : Georg Buchner (1813-37)
Durasi : 105 menit
Sutradara : Makoto Sato.K
Komposer/pianis : Kiyoko Ogino

Pemain :

Woyzeck: Haruhiko Saito; Marie: Mitzuki Nishiyama; Kapten: Natsuko Kiritani;
Dokter: Natsuko Kiritani; Mayor drum: Zhang Chunxiang; Andres: Toru Hanabusa;
Malaikat: Keiko Takeya.

Malaikat dan seorang wanita berada di atas panggung. Yang wanita bangun untuk
menari seperti marionet diiringi lagu yang dinyanyikan oleh suara wanita
ketakutan, Malaikat berpakaian abu-abu, dengan warna kulit abu-abu menyalakan
sirine. Ini menimbulkan teka teki, namun itu permulaan yang memancing dalam
Woyzeck, yang dipentaskan dalam interpretasi ketujuh oleh Black Tent Theater.
Kelompok seni yang direputasikan secara fisik dan inovasi.
Karya orang Jerman merupakan satu dari sedikit karya yang dimainkan pada abad 19
yang masih menarik. Hal ini mungkin karena masalah-masalah yang tak mengenal
waktu tentang masyarakat yang pernah ada berpotensi membuat seseorang menjadi
self destruktif. Diterbitkan 1879 dan pertama kali dipertunjukkan pada tahun
1931, pertunjukan ini benar-benar pertunjukan repertoar milik abad 20 meskipun
itu ditulis tahun 1836. Pengarangnya, Georg Buchner (1813-37), berdasarkan karya
catatan seorang psikiater dari seorang pria yang didakwa dan akhirnya digantung
karena membunuh selingkuhannya pada tahun 1821.
Versi pelaksanaannya oleh Alban Berg, Woyzeck (1925), adalah salah satu opera
yang paling sukses di abad ini judulnya ditulis berbeda karena pengarang
mendasarkan teksnya pada sebagian tulisan tangan yang tidak bisa dibaca. Serdadu
pangkat rendah, Woyzeck bekerja keras sebagai pembantu kapten yang padahal ia
dimanfaatkan sebagai kelinci percobaan untuk dokter ahli diet. Kapten cepat
mengkritik Woyzeck lewak keluhan-keluhannya dan mengatakannya amoral karena
menjadi ayah anak haram. Dokter selalu mengecek nadi Woyzeck dan menyuruhnya
hanya memakan kacang. Alangkah sedikitnya penghasilan yang Woyzeck dapat, dan
dengan setia ia berikan semuanya kepada selingkuhannya Marie.
Suatu hari, Woyzeck dan Marie pergi ke bazar, dimana mereka melihat pawang
binatang memasukan binatang buas dimasukkan ke kandang. Binatang tetap binatang,
mereka kencing di depan pengunjung. Keesokan harinya, dokter melihat Woyzeck
mengencingi tembok luar, dan menghardiknya atas perbuatan buruknya. Tersiksa
oleh percobaan kehidupan sehari-harinya, pikiran Woyzeck bertambah kosong di
tempat kerja dan makin tidak perhatian pada Marie dan bayinya. Walhasil, Marie
cepat terpikat dengan mayor drum band, seorang pria yang menonjolkan
kemaskulinannya dan rasa percaya dirinya. Woyzeck melihat Marie dan Mayor Drum
Band menari dengan fantastis di pesta dansa dan Mayor itu mengejek Woyzeck dan
mengalahkannya dirinya. Woyzeck melihat Marie dan Mayor Drum Band menari dengan
fantastis di pesta dansa dan Mayor itu mengejek Woyzeck dan mengalahkannya.
Pikiran Woyzeck sekarang semakin memburuk. Ia membeli pisau dan memotong
tenggorokan Marie dekat danau di hutan. Kemudian ia kembali untuk menutup pisau
yang digunakan, setelah itu ia membunuh temannya yang acuh Andres, yang
kebetulan lewat.
Sutradara Makoto Sato mencoba membuat pertunjukan suram ini seterikat mungkin
dengan melibatkan ide-ide yang inovatif, termasuk orang melambaikan lentera
merah dan putih pada bazaar dan bernyanyi lagu daerah Okinawa, Indonesia dan
Korea.
Hasilnya sangat mudah diterima dan bahkan karya yang menghibur. Namun kadangkala
penonton dibiarkan bertanya-tanya tentang hubungan antara spa yang terlihat
menjadi ide-ide yang sangat berbeda, masalah yang besar karena ceritanya sangat
sulit dimulai dengan spa. Setelah mengatakan hal itu, harus juga dikatakan bahwa
pertunjukan 105 menit, tanpa jeda tidak pernah membosankan, bahkan bila anda
tidak mengerti bahasa Jepang.
Haruhiko Saito, mantan aktor kawakan pada kelasnya, mungkin tidak lagi terlihat
30 tahun, tapi gambaran tentang sakunya dan hasutan Woyzeck begitu hidup,
dibantu dengan sebagian besar cara bicara cepat dan menggebu-gebu adalah ciri
khasnya.
Mitzuki Nishiyama sebagai Marie kebetulan seorang wanita biasa. Karena dia tidak
genit, sikapnya terhadap Mayor menjadi lebih erotis. Tetapi menganggap bahwa
nasibnya berakar dari ketakacuhannya dari keputusasaan Woyzeck, mungkin
seharusnya Marie terlihat sedikit terkejut daripada yang telah ia lakukan ketika
Woyzeck memegang pisau.
Mayor drum yang jantan dimainkan oleh Zhang Chunxiang, aktor Cina dengan tampang
ganteng yang sedikit kasar dan fisik yang kuat. Ia bicara kata-katanya dalam
bahasa Mandarin dan Jepang, tetapi dua kreasi yang menyenangkan untuk menemukan
bahasa tubuhnya mewakilkan volumenya.
Toru Hanabusa menjadi Andres yang tak terlupakan, yang punya potret karakter
komik memberikan momen yang menyegarkan dalam drama ini jika tidak drama ini
begitu kelam.
Karl, wanita misterius yang tampil sebagai malaikat pada awal drama, dimainkan
oleh Keiko takeya, yang menari dengan kelenturan yang luar biasa dan gerakannya
nampak seperti cermin dari emosi Marie. Kapten dan Dokter ditampilkan hampir
seluruhnya dengan gaya satir masing?masing diperankan oleh Natsuko Kirttani.
Anggota lain dari kelompok seni memberikan peran, nyanyian dan tarian ensemble
yang hebat. Skor yang menarik, diaransir oleh komposer dan pianis Kiyoko Ogino,
yang juga menulis beberapa lagu, mulai dari interlude mirip Debussy sampai
atonal, angka chorus poliphonik.


Informasi:
HumasAS12001, Yusuf Susilo Hartono
T: 0816.483.99.15 E: yshartono@yahoo.com

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup Alex R.

Arifin C. Noer: Kepasrahan dalam Realitas Hidup
Alex R.


Saat saya menyaksikan pementasan Teater Satu yang bekerja sama dengan Watala dalam rangka kampanye pengelolaan SDA hutan tanggal 8 Agustus 2001 lalu, ada hal yang menurut saya pantas dicatat disini. Pertama lakon drama tersebut yang diadaptasi kembali oleh Teater Satu dari karya dramawan terhebat yang dimiliki Indonesia, Arifin C. Noer. Siang itu, Taman Budaya Lampung nampak panas-- namun antusias anak-anak sekolah yang nampaknya berminat sekali menyaksikan pentas tersebut berlangsung, membuat saya berpikir, bahwa memang sastra telah mencapai angka perkembangan yang dasyat sekali. Program sosialisasi Bahasa Indonesia di sekolah nampaknya telah berhasil memancing minat anak sekolah untuk lebih mendalami sastra Indonesia.

Dalam lakon yang berjudul "Si Aruk dan Sang Pangeran", tergambar jelas bahwa kehidupan masyarakat petani-- kelas bawah, yang selalu saja tertindas tanpa bisa melawan. Melawan kekuasaan yang tak berbentuk. Ciri khas, pementasan drama yang dilakonkan oleh Teater Satu selalu saja mengambil setting panggung yang bersimbolkan angka "tahun". Di sana, ditunjukkan bagaimana-- perkembangan nasib petani Indonesia, yang tak memiliki tanah (tanah, dalam pementasan ini dianologikan sebagai surat wasiat). Tahun-tahun yang meletihkan dan berbicara panjang, dimana rakyat hanya bisa manggut- manggut, tunduk pada kekuasaan yang menikam kehidupan.

Namun, Arifin telah memperlihatkan secara tematik dan pengucapan. Dalam salah satu lakon drama Arifin yang berjudul "Prita Istri Kita" menyajikan beberapa hal penting jika ditinjau dari konstelasi permaknaan bagi kehidupan. Drama monolog ini dipenuhi oleh filsafat hidup yang sederhana. Karena, pada umunya manusia senantiasa menolak realitas buruk yang mungkin terjadi pada dirinya. Pada awal bagian drama "Prita Istri Kita" ini menggambarkan sikap manusia yang cenderung lebih suka bermimpi. Hidup dalam dunia angan-angan. Hal, ini juga menunjukkan kesamaan pada lakon "Kapai-Kapai", Arifin C. Noer. Berikut saya kutip secara lengkap bagian pertama "Kapai-Kapai" ("Dongeng Emak") dalam hal ini mencerminkan penggabungan unsur dongeng, mimpi, dan perasaan-perasaan bahagia yang tengah berkecamuk dalam wong cilik. Arifin memadukannya dalam bahasa puisi yang indah dan mendayu.
Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itu, Sang Pangeran Rupawan menyelinap di antara pokok-pokok puspa, sementara air di dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun Sang Putri Jelita dengan debaran jantung dalam yang baru tumbuh, melambaikan setangan suteranya di balik tirai merjan, di jendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-dayangnya. Melentik air matanya bagai butir-butir mutiara.
Abu :Dan Sang Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat membidik pada satu arah; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan
Abu :Dan Pangeran, Mak?
Emak :Dan Sang Pangeran, Nak? Barangkali kau akan lupa dongeng Emak malam kemarin, Hatta, dengan Cermin Tipu Daya seratus prajurit itu pun seketika jadi lumpuh. Cermin yang diacungkan oleh Sang Pangeran telah memancarkan api panas bahagia lahar Candraadimuka.

Permainan gaya bahasa yang dilakukan oleh Arifin memang puitik. Taufik Ismail sendiri dalam sorotan terhadap puisi-puisi Arifin C. Noer mengatakan, "Kesenian pertama membaca sajak-sajak Arifin adalah kelancaran penulisan situasi puitik dijaga Arifin dengan iramanya. Dan, sebenarnya ia bisa bernyanyi panjang dengan merdu, menggunakan kemungkinan-kemungkinan dramatik dengan substil. Permainan gaya bahasa ituketika prajurit-prajurit dengan tombaknya mengepung istana cahaya itudilanjutkan dengam gaya "konyol" Abu dan pangeran, Mak? Walau akhirnya ditutup dengan bahasa yang ambigu. Dalam naskah "Kapai-Kapai" masalah kemiskinan memang sangat kental dalam telinga Arifin. Kemiskinan merupakan suatu penyakit sosial yang harus dengan segera diberantas. Penindasan (eksploitasi antara sesama manusia) harus dihapuskan namun, memberantasnya harus(juga) dengan cara yang luwes tanpa memperlihatkan sikap konfrontatif antara satu kondisi dengan yang lainnya. Ada waktunya, dalam kehidupan ini manusia harus "nyinyir" menyingkir dalam kehidupan sementara waktu-- bertapa lalu menyembunyikan diri dalam gua di belantara hutan. Namun, harus juga menerima relaitas yang terjadi. Kita tidak boleh begitu saja menyerah pada takdir. Karena, dalam suatu Surat Al-Qur'an Allah telah berfirman, "Allah tak akan pernah merubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu sendiri tidak merubahnya." Naskah tersebut dilanjutkan,
Abu :Dan Sang Pangeran selamat, Mak?
Emak :Selalu selamat. Selalu selamat. Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Abu :Dan Sang Putri,Mak? Emak :Dan Sang Purti, Nak? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Pangeran dalam mimpi yang sangat panjang,dimana seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu dengan penuh cahaya.
Abu :Dan bahagia, Mak?
Emak :Selalu bahagia. Selalu bahagia.
Majikan: Abu!
Abu :Mereka senantiasa bahagia. Pokok-pokok puspa. Cahaya purnama. Istana cahaya. Cermin Tipu Daya.

Oleh Teater Satu, naskah drama ini dikembangkan dengan mengganti beberapa tokoh. Tokoh Abu digantikan oleh Si Aruk. Tokoh Emak digantikan dengan Tamong (kakek). Permainan pentas, mengenai sosok Si Aruk-- dalam hal ini berperan sebagai petani miskin. Selalu saja dihantui dengan penyakit orang miskin, yakni: rasa lapar yang berlebihan. Walau sosok Hindun dengan peran sebagai istri Aruk, selalu saja setia untuk menemani Aruk sampai akhir hayat.
Emak :Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.
Abu :Sang pangeran juga tidur sore-sore, Mak?
Emak :Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau seperti Sang Pangeran yang rupawan.
Sosok Abu/Aruk yang selalu memimpikan Sang Pangeran, nampaknya telah jauh membawa kita pada imaji bahwa penderitaan yang dialami tokoh Abu maupun Aruk sudah sedemikian berat. Dan, sebagai tipikal utama penciptaan sastra Arifin, bentuk sepert Kapai-Kapaiini mendominasikan tema sentra sosial yang terus-menerus digarapnya secara kontinue dan berlanjut. Tanpa harus mengenal lelah dan bosan. Ia mencoba untuk menyajikan konsep sastra yang merakyat. Selalu mengangkat tema-tema yang ada di depan matanya. Namun, konsep ini sebenarnya bertentangan dengan konsep sastra proletar ala Lekra yang menekankan tentang pertentangan antar kelas dalam masyarakat. Konsep yang digulirkan oleh Arifin dalam naskah Kapai-Kapai lebih menegaskan bagaimana pembelaannya terhadap manusia yang selalu saja tertindas. Masalah kemanusiaan yang semakin kompleks.

Konsep ini berhasil diformulasikan oleh Arifin, pembelaan terhadap manusia yang selama berabad-abad diperhina karena kemiskinan, penyakit, peperangan, kelaparan, dan segala macam perendahan martabat. Karena sosok manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia harus senantiasa diangkat peranannya dalam kehidupan yang sebenarnya. Mengembalikan fitrah hidup manusia sebagai makhluk paling agung yang diciptakan Allah. Dengan demikian, karya sastra telah berbicara apa-adanya. Membela keagungan kehidupan yang dijalani manusia secara utuh.

Karya sastra merupakan penciptaan dunia yang baru. Itulah sebabnya, Arifin mengritik karya sastra yang terlalu borjuis. Karya yang selalu menggambarkan kemewahan hidup, padahal fakta yang ada berbicara lain. Dengan konsep ini pula, Arifin berusaha mengangkat martabat rakyat kebanyakan. Keberpihakannya terhadap rakyat kecil yang senantiasa tertindas, membuat ia selalu mengangkat tema-tema hidup yang sosial. Pemikiran dasarnya dalam menciptakan sebuah karya, telah (berhasil) menempatkan tokoh-tokohnya dalam situasi yang pas dan sesuai dengan kenyataan. . ia menempatkan mereka, menurut ukuran mereka-- dalamstrata sosial, ekonomi, dan perilaku-perilaku kemasyarakatan secara umum. Sayang, dramawan terbesar itu telah tiada. Ia meninggalkan dunia yang fana ini di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1995. Namun, karya-karyanya masih tetap terasa keberadannya. Di Taman Budaya Lampung, hari terasa sore. Matahari telah turun jauh, pentas drama baru saja usai. Saya terkenang lakon Kapai-Kapai yang diadaptasi tadi. Lalu, teringat, kutipan tulisan Arifin tentang sastra. "Saya sekarang hampir percaya bahwa abad ini adalah abad penghinaan habis-habisan manusia, dan karena itu saya berupaya untuk mengembalikan martabat manusia kembali pada posisinya sebagai subjek dan objek."

http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=392

Wawancara dengan Heinrich Böll Werner Koch

Wawancara dengan Heinrich Böll
Werner Koch

(Tuan Böll, bagaimana anda menulis, kapan anda menulis, dimana anda menulis - perlukah anda menulis di sebuah rumah keluarga, mungkin di rumah peristirahatan di Irlandia atau di sini di apartemen Köln-Muengersdorfer, atau cukup di sebuah kamar hotel yang tak terlalu pribadi?)

Saya bekerja sangat pelan, tapi kalau menulis sangat cepat, kebanyakan pada siang hari, antara jam 10.00 sampai jam 14.00, untuk menjawab pertanyaan; bagaimana dan kapan. Ya dimana sampai sekarang saya berada, saya tidak tahu, bagaimana nanti di masa tua, agaknya sama saja. Saya perlukan sebuah rumah keluarga, tapi rumah keluarga itu sudah cepat tersedia - saya sebenarnya hanya perlu sebuah meja, yang tak bergoyang, sebuah kursi, yang cocok dengan mejanya, dan di dekatnya ada tempat yang memungkinkan untuk mencuci tangan - tak lebih dari itu.

(Nah, bagaimana anda menulis, apa anda menulis dengan tangan, dengan tangkai pena, dengan mesin ketik?)

Ah, itu yang kau maksud. Ya, saya biasanya menulis langsung di mesin ketik, lalu dikoreksi - dan pengoreksian ini yang banyak kerjanya - dengan tangan, dengan sebuah pensil.

(Anda mulai dengan sebuah roman dan menulisnya tak sampai tamat - apakah itu sudah di rencanakan?)

Ya, itu sudah direncanakan. Bahkan kejadiannya juga sudah dipikirkan, bahwa saya akan menulis sebuah roman hingga tamat dan keduanya tak di publikasikan.

(Adakah konsep dasar yang singkat dan tepat? Tidakkah tema itu memuaskan anda?)

Bila roman itu sampai tak selesai, mungkin dasarnya, bahwa saya tak bisa bertahan, atau romannya sendiri yang tak tahan - dia juga harus ikut serta, bukan, saya mengumpamakannya - sekarang dia sebagai kata ganti orang - sebagai seorang partner, yang ikut bersama terlibat; meski kadang materinya tak mudah, kemudian mengalir begitu saja, kirim - selesai. Dan yang tak di terbitkan, yang memang menurut saya tak menarik dan yang saya anggap tak berkwalitas.

(Sebuah pertanyaan menggebu yang kurang sopan: Berapa jumlahnya itu?)

Ada empat - tiga atau empat, tapi bagi saya yang terpenting adalah pengalaman berkarya itu, luar biasa pentingnya, kadang lebih penting ketimbang dari karya yang sudah saya terbitkan. Karya yang tak berhasil saya selesaikan itu, kadang saya belajar lebih banyak darinya.

(Untuk memutuskan, apakah sebuah roman sekarang sudah layak di terbitkan atau tidak, menurut keputusan anda sendiri atau anda tanya kepada istri?)

Pada prinsipnya saya putuskan sendiri, namun istri saya juga ikut terlibat di dalamnya.

(Tuan Böll, sebelum anda memulai sebuah roman, sudahkah plot/alurnya di tentukan, tahukah anda, apa yang akan datang, tahukah anda, apa yang akan terjadi, tahukah anda sebagai penutupnya?)

Tidak, hal itu tak bisa di tentukan, khususnya, karena plot sebagai apa adanya, sehingga dalam tehnik pembuatan isi epos plot, tak menarik. Saya tertarik pada orang-orangnya, situasinya, peristiwa-peristiwa di dalamnya - lalu apa yang orang sebut sebagai isi plot yang sebenarnya, aksi, tak bisa di tentukan.

(Kemudian itu akan terjadi dengan sendirinya...Sebuah contoh: Anda telah memulai membuat sebuah roman, sudah selesai 100 halaman, Anggapan anda adalah, roman itu sudah begitu dan terus mengalir saja, tapi bukankah kemudian roman itu harus di plot dengan haluan yang baru...)

...Saya tak tahu persisnya, kemana roman itu terus melaju, terutama seluk beluknya, bila saya sudah menyelesaikannya - katakanlah konsep pertama, konsep acak-acakan, konsep kedua dan seterusnya -, bekerja "dari belakang ke depan", baru bisa ditemukan susunan peristiwanya yang pertama, dan kadang juga harus merombak dari belakang ke depan, di tengah, harus di pindahkan, sejauh ini saya tak tahu, bagaimana karya harus mengalir, seperti plot yang berjalan.

(Tuan Böll, bagaimana hubungannya antara penulis dengan orang-orang pelaku dalam roman, sejauh mana anda menjaga jarak dengan mereka, dan sejauh mana anda merasa bersaudara dengan orang-orang pelaku itu. Bisakah digambarkan.)

Ya, sulit menjelaskannya, tahukah anda, bagaimana semua masalah itu secara alami mirip tak bisa diterangkan, dan mirip juga dalam kata, hubungan antara penulis dengan orang-orang pelaku, orang-orang pelaku dengan penulis- sebuah percobaan kemiripan dari kedua belah pihak, kadang saya tak hiraukan saja, saya anda, tapi itu harus ada sebuah jarak, meski minimal sekalipun, kalau tidak hal itu berada di sampingnya,- saya juga berpendapat, bagaimana seandainya penulis itu juga seorang pelaku, katakanlah, saya menulis sebuah buku otobiografi, harusnya saya makin membuat jarak. Dan orang-orang pelaku dalam roman-roman itu banyak - sebenarnya saya mencoba untuk membebaskan mereka dan menempatkan mereka pada posisi yang adil, utamanya hal-hal yang saya anggap tak simpatik, dengan demikian saya bisa temukan mereka sebagian besar.

(Sebelum anda menulis sebuah roman; apakah anda membuat semacam catatan kecil, dan jika ya, bagaimana bentuk catatan kecil itu?)

Saya tidak membuat catatan kecil sama sekali, hanya menulis beberapa kata-kata penting, orang-orang pelaku, kejadian pada suasana-suasana khusus, itu hanyalah coretan-coretan yang tak rapi, yang kemudian akan memainkan peran penting. Sebenarnya hasil itu muncul saat orang sedang menulis karya sastra.

(Seandainya saya mempunyai coretan-coretan semacam itu, tak bisakah saya mulai menulis?)

Tentu saja juga berlaku buat anda. Disitu khan sudah ada beberapa kata, bagi saya itu bisa berarti satu bab, apa yang tersirat di kepala saya, tapi bagi anda bisa berarti kosong. Misalkan saja: asbak rokok atau sesuatu yang lainnya, mengertikah anda, bagi saya itu hanyalah sebagai alat bantu saja, yang kadang dalam perkembangan selanjutnya sama sekali tak ada fungsinya - hanyalah sebuah petunjuk. Saya tak menggunakan persiapan study, kira-kira, kita katakan persiapan study materinya.

(Tak ada kesadaran.)

Tak ada kesadaran, juga tak ada inti dalam karya sesuai ilmu pengetahuan.

(Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana, karena saya terpikat: Bagaimana anda menemukan nama-nama dalam roman anda?)

Saya temukan, sebagian besar sudah di rancang, sebagai daya cipta dari penulis, nama-nama apa saja yang cocok dan terbatasi, kemudia semua muncul, tapi juga banyak yang tak bisa ditemukan.

(Sekarang, dalam roman "Murkes" tak ada - bukan?)

Tidak, saya pikir tidak, yang saya ciptakan, tak saya kontrol. Tapi penulis mengalami begitu saja, karena dia menulis orang-orang pelaku: Dengarkan dulu, bagaimana anda bisa sampai pada hal demikian, untuk membelokkan nama- nama saya! Nama-nama itu bagi saya sangat penting, nama-nama, karena sebuah yang luar biasa saja- kita namainya sebagai kwalitas ungkapan perasaan puitik bagi saya, nama-nama, nama depan, nama keluarga adalah sangat penting, dan oleh karenanya saya menciptakan seperti itu.

(Anda baru saja mengatakan, anda mengalami langsung melalui pembaca anda. Adakah reaksinya, hubungan yang berarti dengan penulis, meskipun pembacanya selalu menggunakan anonim- adakah yang demikian?)

Ya, tentu ada, maksud saya bukan pada sebuah catatan nilai statistik, yang minimal- ada reaksi-reaksi, pada orang-orang yang marah atau tidak atau dengan menulis, tapi pada prinsipnya saya dalam pengekspresian semacam itu tak bisa memberi alasan, karena dalam sebuah roman, bila sudah selesai,sudah dicetak, sudah beredar, bagi saya berarti sudah tak hidup lagi, juga orang-orang pelakunya sama sekali tak ada lagi - saya tak akan mengurus lagi, saya akan mengurus yang berikutnya, dan bergeraklah saya - mengertikah anda?

(Ya, pertanyaan yang lain: sebuah roman yang ditulis dalam bentuk "Saya", misalnya "Roti tahun yang lampau" (Das Brot der frühen Jahre). Sangat sederhana: Siapakah tokoh "Saya" dan mengapa tokoh "Saya" itu sekarang bukan sebagai "Dia"?)

Tokoh "Saya" bukanlah siapa-siapa, itu juga bukan sebagai tokoh "Dia", melainkan Saya adalah saya saja hanya kata ganti orang saya . milik saya - saya (mir: sebagai pelengkap penyerta), saya (mich: sebagai pelengkap penderita), jadinya begitu, saya pikir, perlu pembiasan-.

(Ya, tapi anda memilih contoh pada "Roti tahun silam" (Das Brot der früheren Jahr) memakai bentuk "Saya", sedang contoh lain dalam "Murke" memakai bentuk "Dia". Adakah dasarnya?)

Tentu, itu ada dasarnya. Bila "Saya" untuk saya (pelengkap penderita) hanyalah sebagai materi bahasa - berikutnya, sebuah ungkapan dasar, yang dapat diikuti, tentunya, bisa bervariasi - anda bisa membandingkan dengan sebuah lukisan, katakan saja seorang pelukis mengambil warna dasar merah, disitu ada banyak jenis variasinya. Pada pokok bahasan ini "Saya" hanya sebagai sebuah materi kata. Tentu saja ada kelanjutan sebuah masyarakat dan psikologisnya, mengapa saya memilih "Saya", dan sebagai penanggung jawab dalam menghasilkan karya. Langkah selanjutnya adalah mudah, hanya berpatokan pada seni, dan buat saya dengan amat luar biasa untuk berusaha menjaga dengan orang pelaku. Saya yang sebagai orang asing itu, yang saya tulis sebagai bentuk "Saya", buat saya merupakan jarak yang amat jauh dari pada setiap "Dia". Kalau dibesar-besarkan, bila saya akan menulis otobiografi, saya akan tulis dalam bentuk "Dia". Berikutnya amatlah mudah hanya materi bahasa saja dan suasana tekanannya dimana, tak setiap bentuk "Saya" dalam buku selalu sama.

(Tuan Böll, kalau saya tak salah, anda belum pernah menulis sajak- mengapa?)

Saya sudah pernah menulis sajak.

(Saya belum pernah membaca sebuahpun?)

Beberapa sudah saya terbitkan, bahkan beberapa tahun silam, memakai nama samaran: dalam cetakan yang terbatas. Saya dulu waktu masih muda banyak menulis sajak dan terus saja menulis sajak itu.

(Tapi dengan nama samaran apakah tidak sia-sia?)

Kemudian memakai nama saya - beberapa diantaranya juga saya buang, tapi saya masih menulis beberapa. Saya melihat sesuatu pada diri saya.

(Tuan Böll, pada setiap roman anda terdapat beberapa versi, saya tahu, ada lima, enam versi yang berbeda. Yang membuat saya penasaran: bagaimana arah jalan dari versi pertama yang tak terkoreksi sampai ke lima, terakhir, versi yang sudah dikoreksi: Apakah anda merubahnya terutama agar agak formil, atau membiarkan begitu saja tak terartikan secara tepat.)

Sulit untuk menerangkannya, saya akan mencobanya. Tentunya ada yang tak setiap lima, enam versi, kadang ada dua, tiga, empat - minimal katakanlah tiga. Itu artinya bukan setiap versi ditulis seluruhnya baru. Saya akan coba untuk menjelaskannya. Ada langkah yang berbeda yang kadang terlalu jauh melaju, dan saya harus menarik kembali dari keseluruhannya dan memulai lagi dari depan. Katakanlah tujuan khususnya mengambang, bila anda mengukur dengan secara geografi, ambillah geografi yang datar - kita katakan saja misalnya, saya akan pergi ke gereja St.Peter di kota Köln, saya dapat saja mencapai tujuan itu dengan berbagai jalur, dan saya bisa saja mengulur waktu yang berbeda-beda dari berbagai tempat lain untuk mendekatinya - dalam pemahaman ini saya perlu berbagai langkah, ukuran waktu, kadang saya berhasil dari segi waktu, berhasil menghadapi rintangan di jalan, yang keduanya harus saya urus, mengertikah anda, saya akan mencoba memberi tekanan yang sangat jelas. - dan kami katakan, orang-orang pelaku yang usil masuk ke dalam sebuah roman, berhamburan, itu harus dikeluarkan. Dengan demikian tak akan berakibat pada sebuah komposisi baru seluruhnya. Dalam pemahaman inilah disebut versi baru.

(Apakah versi terakhir pada umumnya selalu lebih pendek dari yang pertama?)

Ya, tentu jauh lebih pendek.

(Apakah kasus itu berlaku secara umum?)

Ya, pada umumnya kasusnya begitu. Dasarnya adalah konsentrasi pada peristiwa utama, yang berbagai versi, yang dirasa akan mubazir harus dikeluarkan, lalu bagian mubazir yang mana yang masih saya pertahankan -apakah itu mubazir, mudah-mudahan daya pikirlah yang memutuskan...

(...Tak bisa diperinci lagi?)

Ya, sudah terlambat. Tapi itu saya putuskan sendiri.

(Tuan Böll, Franqois Mauriac, yang anda puja itu, seperti yang saya perkirakan, telah menyebut sebuah roman adalah "sebuah bentuk sastra yang tersempurna" (vollkommenste literarische Form). Anda sendiri pernah mengatakan - saya kutip sekarang: "Cerpen adalah selalu yang terindah dari seluruh bentuk-bentuk prosa" (Die Kurzgeschichte ist immer noch die schönste aller Prosaformen). Anda masih mempertahankan keyakinan itu, siapa yang benar: Mauriac atau Böll?)

Saya tak berpikir, bahwa sebuah pertanyaan, apakah Mauriac benar atau saya. Saya tetap dalam pendirian saya, dan saya pikir, sangatlah sepele semata-mata hanya perbedaan nasional saja - maaf dengan kata "nasional" (national) dalam hubungannya -, dengan tradisi roman Perancis, yang sudah amat awal dimulai dan juga pada abad 19 dengan Stenhal dan Balzac dan Flaubert yang telah berhasil dengan gemilang - di Perancis mungkin Roman sebagai bentuk Prosa yang paling di tekankan, di Jerman berbeda.

(Tapi bukankah hal yang mudah untuk dikatakan, bila Cerpen adalah bentuk khas Amerika?)

Tidak, saya pikir lebih dulu - adalah sebuah teori, yang hanya bisa saya buktikan dalam masalah ini (ad hoc) -, bahwa Cerpen Amerika melewati jalan yang berputar ke Jerman baru menuju ke Amerika - cikal bakalnya - pengaruh Romantik, termasuk dongeng, dan semua bentuk sejenisnya. Di Inggris bentuk prosa pendek juga menjadi idaman. Mungkin sekali karena berhubungan erat dengan pengandaian faktor bahasa, yang mudah - sebut saja begitu - bahasa dengan keselarasan bahasa Jerman ada kecenderungan. Di Jerman saya sangat yakin, bahwa Cerpen, Dongeng, atau seperti biasanya orang menamainya - ada banyak bentuknya - seperti yang saya utarakan bagi kami sebagai tekanan dalam bahasa Jerman, sementara bagi orang Perancis, dongeng, cerita juga, apakah itu cerita pendek atau panjang, dulunya tak pernah menarik. Itu bedanya. Saya tak percaya sama sekali, orang bisa mengartikan dari seluruh perbedaan itu secara tepat.

(Bukan untuk mencari penemunya, tak bisa di pukul rata saja?)

Tidak, hal itu selalu subjektif, bagi saya Cerpen merupakan bentuk yang terkuat dalam Prosa.

(Tuan Böll, anda pernah mengatakan saat membacakan "Wuppertaler Rede" di tahun 1958, bahwa anda sebagai pecinta yang bernafsu pada bahasa. Sekarang sebagai pecinta bahasa yang bernafsu, bila anda memposisikan "tehnik pencapaian pengertian" (terminus technicus), sebuah bentuk erotik. Apakah kalau dihubungkan dengan penulis Böll, bahasanya juga erotis?)

Saya pikir, ya. Saya tak bisa menjawab yang begitu saling erat hubungannya, bisa saja nanti berbeda. Erotik mungkin berhubungan dengan bentuk, apa yang saya katakan: langkah, untuk mendekatkan. Pendekatan itu ya juga sebuah pengertian erotis. Perebutan adalah sebuah pengertian erotis, yang berlaku untuk militer juga, satu diatas yang lainnya. Saya pikir itu sebuah bentuk perebutan dengan bahasa, tujuan, dan itu merupakan sebuah peristiwa erotis yang murni, dan kadang bahkan tak berhasil, oleh karenanya menjadi roman yang bernasib buruk, yang hilang, tak berhasil dalam percobaan perebutan.... Hal itu bisa disebut sebagai peristiwa erotis. Saya pikir, anda benar.

(Sebuah roman muncul kapanpun, bagaimanapun, dimanapun. Waktu yang tepat, barangkali penulis sendiri tak mengetahui saat itu, bahwa dia akhirnya akan selesai? Sejak dari awal prosesnya, memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun lamanya, bisakah hal itu di tetapkan, di rumuskan?)

Ya, tiba-tiba sampai ke tema itu, katakanlah, sebuah ide, yang tak penting, ide itu hanyalah sebuah perumpamaan, dan untuk ide itu saya perlukan- ya, bagaimana saya menyebutnya? Bukan lingkungan, bukan medan - saya perlukan tempat khusus yang cocok. Saya tak bisa menerangkan sebuah contoh. Bila anda mengambil contoh roman "Diamnya Doktor Murkes" (Doktor Murkes gesammeltes Schweigen), dimana ide diam ini sangat penting peranannya, untuk roman itu, saya perlu waktu dua tahun, untuk mencari tempat yang cocok. Tentu saja tempatnya di stasiun penyiaran radio dan TV atau tempat yang cocok dengan lingkungan ini, tapi untuk menemukan orang-orangnya, suasana, cuaca, semuanya - bisa memakan waktu dua, tiga tahun, bila itu berhasil, itu merupakan sebuah bagian dalam peristiwa yang murni, sejarah yang cepat selesai ditulis, mungkin dalam dua, tiga hari saja. Tapi tentu begitu banyak roman, yang menyangkut di kepala saya dan lupa lagi dan tak sempat ditulis, dimana idenya hilang, dimana kita tak bisa katakan padanya, dimana hubungan erotisnya tak terjadi. Waktu yang tepat dapat saya katakan, bila saya sudah akan menulis catatan-catatan: hari ini dan ada ide - apa yang saya tak lakukan.

(Anda tak membuat buku harian?)

Tidak

(Seorang penulis yang tidak membuat buku harian, Tuan Böll, rasanya tak umum - atau?)

Saya harus koreksi sesuatu, tak pakai buku harian, dalam pengertian kata-kata dalam buku harian - meskipun tak pakai, berisi juga masalah-masalah terdalam saya atau informasi-informasi sesuatu, pada seseorang yang simpatik. Saya membuat buku harian dalam bathin - katakanlah sebuah pekerjaan yang membuang-buang waktu saja, padahal masih biasa. Jadi sederhana saja, buat catatan-catatan kapan dan apa yang telah saya lakukan dan dimana saya saat itu - hanya itu saja, cukup.

(Apakah bisa menyelesaikan dengan tepat?)

Tidak, tidak - karena saya pada usia yang tertentu, kalau 10 tahun lalu, saya pikir: Oh Tuhan, apa yang sebenarnya kau lakukan sepanjang waktu?

(Sekarang, anda senantiasa telah begitu banyak berbuat?)

Ya, tentu, tapi saya ingin mengoreksi diri sendiri - kapan dan dimana saya, apa yang telah saya perbuat dan sebagainya.

(Jadi buku harian anda juga sebuah pedoman yang bisa buat buku?)

Ya.

(Kalau begitu tak perlu ada pengarang?)

Bukan, tak ada hubungannya dengan penulis sama sekali, benar-benar membosankan untuk masalah yang sepele saja memerlukan buku catatan, yang tak ada sangkut pautnya dengan karya saya.

(Tuan Böll, bolehkah saya membacakan sebuah kalimat untuk anda - kalimat itu bunyinya: "Pada hari, Hedwig tiba, adalah hari Senin, dan pada Senin pagi itu, sebelum pemilik rumah saya menyodorkan surat dari ayah di bawah pintu, saya lebih suka menutup wajah saya dengan selimut, seperti biasa saya lakukan dulu, ketika saya masih tinggal di rumah praktek kerja." (Der Tag, an dem Hedwig kam, war ein Montag, und an diesem Montag Morgen, bevor meine Wirtin mir Vatrs Brief unter die Tur schob, hätte ich mir am liebsten die Decke übers Gesicht gezogen, wie ich es früher oft tat, als ich noch im Lehrlingsheim wohnte). Masih ingatkah anda dengan kalimat ini, yang dimulai dari roman "Roti tahun silam" (Das Brot der fruhen Jahre). Sekarang, setelah saya membacakan kalimatnya, saya bertanya, siapa tokoh Hedwig itu, siapa pemilik rumah itu, siapa ayah itu, siapa "Saya" itu, dan apakah pekerjaan orang itu, yang di tulis dalam bentuk "Saya", di tempat praktek kerja. Pertanyaan saya: Bukankah itu terlalu banyak untuk ukuran satu kalimat? Saya harus berulang kali membacanya dan mencoba memahaminya, atau saya harus menyesuaikan: menunggu waktu sampai mengetahui apa yang akan datang lagi. Apakah alasan anda?)

Ya, sebenarnya saya sudah sedikit memahami dari kalimat itu, saya tak punya maksud tertentu, bagi saya kalimat itu bagaikan cara saja untuk menerangkan dari keseluruhan buku, dan apa yang sudah termuat dalam urutan isi buku. Kemungkinannya memang sulit, kalimat saja untuk di baca, sebagai bagian pertama, yang meyakinkan saya, tapi saya tak bisa banyak berbuat, mungkin saja pembaca harus membacanya dua kali.

(Anda tak menentang itu?)

Tidak, saya pikir itu benar, hanya saja sebuah hal yang sangat sulit, tapi saya pikir, itu hanyalah cara mengungkapkan dari keseluruhan buku pada kalimat pertama, kemudian sampai pada hasil karya. Dan tahukah anda, sebagai penulis saya tak terlalu memusingkan hal seperti itu, betapa sulitnya dibaca oleh pembacanya, saya tak hiraukan itu, bila anda mau, saya akan berikan tekanan tertentu dan mencari tekanan-tekanan itu, pilih lah - apa yang akan terjadi, itu bukan urusan saya lagi.

(Bisa jadi, buku terbaik dari Heinrich Böll tak dibaca orang?)

Itu bisa terjadi.

(Anda tak terganggu dengan itu?)

Tidak. Saya hanya menyesali, tapi saya tak merasa terganggu - saya harus mengekspresikan begitu.

(Tuan Böll, anda lahir tahun 1917, anda tahun 1947 berusia 30 tahun. Anda dulu kawin, anda punya anak, dan anda harus "menafkahi semua itu". Pertanyaan saya: Anda dulu seorang penulis, anda ingin jadi penulis, anda perlukan uang, anda perlukan keberhasilan - dalam situasi kerja yang memaksa seperti itu: apakah bukan menjadi hambatan? Atau bahkan justru sebagai tantangan?)

Itu sama sekali tak ada pengaruhnya - antara satu sisi dengan sisi yang lainnya. Untuk dapat hidup sebagai seorang penulis, anda tak perlu sebuah keberhasilan mutlak dari seorang penulis buku. Pada waktu dulu, saat kami memulai, generasi saya, untuk menulis, sponsor dari stasiun Radio/TV mengambil peranan penting dalam beberapa hal pokok, dan sebenarnya saya sudah menjalaninya- katakanlah kami hidup awalnya dari bekerja di stasiun Radio/TV - mulai dengan pekerjaan tukang.

(Baiklah. Kemudian pertanyaan yang lain: terganggukah pekerjaan tukang atau pekerjaan jurnalistik dianggap bukan pekerjaan penulis yang sesungguhnya?)

Saya suka pekerjaan tukang juga, tapi saya pikir, orang harus mau menerima rintangan berat itu. Saya tak pernah menyesali ketidak berhasilan, saya juga tak akan bertanggung jawab pada masyarakat. Buku saya yang pertama, saya pikir, penerbit saya - telah memerlukan waktu selama tujuh tahun, untuk menjual 3000 eksemplar buku, itu karya saya yang termasuk tak paling jelek, seperti saya yakini, dari kejadian tersebut membuat pelajaran yang berharga bagi saya, lagi pula saya telah punya, bila suatu saat terjadi peristiwa darurat, suatu saat bila pekerjaan di ambil alih, bisa juga menghidupi keluarga saya.

(Sekarang ada satu yang mengganjal saya...Anda pernah ditanya - saya tak tahu lagi siapa yang bertanya -, buku anda yang mana yang anda sendiri paling sukai, dan saya pikir, Anda dulu pernah menjawab, bahwa anda tak mau menetapkan buku yang mana, tapi kalau sekarang ada sebuah keharusan, bukankah masih pada pilihan yang berjudul "Dimana kamu, Adam?" (Wo wars du, Adam?))

Ya, itu sebagai buku yang paling saya sukai, dan itu termasuk buku berat, saya kira saya perlu waktu 10 tahun untuk membuatnya, sebelumnya, orang tak pernah menyebut sebuah keberhasilan. Aneh khan, tapi sebenarnya tak ada hubungannya dengan buku-buku yang lain, diantaranya saya juga telah berhasil dengan buku-buku yang lain, dan tetap masih apa adanya dan bahkan tak mengalami kemerosotan. Saya pikir tergantung pada penafsiran sebuah keberhasilan, dan beruntung saya tidak menjadi manja.

(Ya, adakah...)

Membuat permasalahan menjadi ringan.

(Adakah hubungan antara kwalitas karya dan keberhasilan, atau bahkan tak bisa diartikan begitu?)

Tidak, itu benar-benar tak masuk akal, sampai sekarang, saya belum menemukan analisa. Ada buku-buku yang jelek, tapi berhasil dengan gemilang, dan ada buku-buku bagus - dan juga buku-buku jelek, yang sama sekali tak mendapatkan keberhasilannya, dan buku-buku yang bagus - tak ada aturannya. Menurut yang saya ketahui, mungkin faktor keberuntungan ikut menentukan?

(Saya melompat sedikit, saya tertarik sebagai berikut: Dorothy Parker pernah berpendapat:"Paling mudah menulis orang lain, adalah pada orang yang dibenci" (Am leichtesten lässt sich über Leute schreiben, die man hasst). Bagaimana anda mencermati pernyataan diatas?)

Saya pikir, cocoknya pernyataan itu di terapkan untuk wartawan dan dalam urusan kewartawanan - ambillah contoh seseorang seperti Karl Kraus, yang menurut saya, seorang yang memuakkan, tapi sekaligus juga seorang pecinta yang agung - itu termasuk di dalamnya...

(Heinrich Mann mungkin termasuk juga?)

Ya, tapi untuk menulis orang-orang, yang dibenci, saya tak bisa bayangkan, karena saya tak seorang pun, pada orang-orang tertentu yang saya benci dan juga yang membenci karya tulis saya. Ada istilah permusuhan, ada yang disebut perseteruan, yang merupakan sebagai bukti ungkapan dan sebuah hasil karya kewartawanan, tapi saya pikir, kebencian bukan sebagai pendorong yang terbaik, dasar kecintaan juga bisa sebagai pendorong, dan memang tidak sekali saja cinta pada sesuatu lalu muncul orang-orang dalam karya itu, melainkan begitu saja sebagai - sebut saja rasa keberadaan. Bagi seorang wartawan, saya bisa membayangkan, juga untuk sebuah karya kewartawanan, yang memang pada pekerjaannya dan dengan dasar tertentu sehingga membenci orang-orang tertentu pula - bagi seorang pendongeng cerita - kebencian bisa saja muncul, penampilan, semangat jaman, masalah-masalah politik, masalah-masalah masyarakat, tapi tak pernah menyangkut orang-orangnya, yang dia benci, untuk di tampilkan dengan jelas - saya pikir tak begitu.

(Tuan Böll, Pertanyaan saya yang terakhir: Kita sudah saling mengenal cukup lama dan saya tahu, bahwa anda sebenarnya tak menyukai jenis tanya-jawab atau perbincangan seperti ini. Mengapa anda lakukan sekarang?)

Pada prinsipnya saya lakukan juga, kadang-kadang berlawanan terhadap keyakinan saya, karena bagi saya sudah cukup jelas, karena saya terpaksa menjawabnya, dengan jawaban itu sudah menjadi beberapa penjelasan juga bagi saya sendiri, dan karena saya harap, juga bagi yang lainnya mengerti jawaban yang jelas dari saya itu.

Diterjemahkan oleh: Kang Bondet

15 Januari 2002 - 22:42 "Laki-laki Tua" Hemingway Meninggal di Kuba Eka Kurniawan

15 Januari 2002 - 22:42

"Laki-laki Tua" Hemingway Meninggal di Kuba
Eka Kurniawan

Nelayan Kuba yang memberi indpirasi bagi novel Ernest Hemingway, "Laki-laki Tua dan Laut", meninggal pada umur 104 tahun. "Segala hal mengenainya tampak tua kecuali matanya dan kedua mata itu memiliki warna seperti lauy," begitu deskripsi Hemingway tentang si Laki-laki Tua.

Gregorio Fuentes merupakan kapten kapal Hemingway, "Pilar" selama tahun-tahu Hemingway tinggal di Kuba, dan mengembangkan satu persahabatan yang erat dengan sang penulis. Sangat jelas bahwa model karakter utama novel peraih Nobel Kesusastraan 1952 itu adalah Fuentes.

Novel klasik ini berkisah tentang perjuangan gila seorang nelayan tua Kuba untuk menangkap ikan secara sempurna. Klimaks buku ini terdapat pada pertarungan tiga harinya melawan seekor ikan marlin yang berhasil ia tangkap, dan berakhir dengan nada ironis khas Hemingway ketika ia berhasil menyeret ikan tersebut ke pantai namun habis digerogoti ikan-ikan hiu.

Dalam kehidupan nyata, Fuentes merupakan kapten dan juru masak Hemingway selama 30 tahun, mengemudikan kapalnya dan mempersiapkan koktil-koktilnya. Ia meninggal di rumah tempatnya selalu tinggal. Ia menderita kangker.

Sang nelayan lahir di Lanzarote di Pulau Canary tahun 1897. Ia berkelana ke Kuba ketika ayahnya, yang merupakan juru masak kapal, meninggal di luar negeri. Fuentes yang baru berumur enam tahun diambil oleh imigran pulau Canary lainnya.

Ia berjumpa dengan Hemingway tahun 1928, dan tahun 1930-an sang penulis menyewa kapalnya. Fuentes teringat saat ketika Hemingway akhirnya kembali ke Amerika Serikat, 1960, setahun sebelum memutuskan bunuh diri. "Jaga dirimu baik-baik sebagaimana kau tahu caranya," ia ingat apa yang dikatakan sang penulis.

Sang nelayan kemudian memberikan kapal "Pilar" kepada pemerintah Kuba. Kapal itu dipajang di depan rumah Hemingway di luar kota Havana. Di tahun-tahun belakangan, Fuentes memperagakan atraksi bagi turis di desa Cojimar, mengenang "Laki-laki Tua dan Laut", di mana ia hidup hampir sepanjang hidupnya.

"Ia merupakan simbol nelayan Kuba dan persaudaraan, terima kasih untuk seluruh tahun-tahun persahabatannya dengan Hemingway," kata temannya, Jose Miguel Diaz Escrich.

Sastra Arab dalam Karya Goethe Aguk Irawan Mn.

Sastra Arab dalam Karya Goethe
Aguk Irawan Mn.

Bagi yang ingin memahami penyair
Maka pergilah ke rumah-rumah mereka
Mereka akan memilih hidup di negri Timur
Tatkala mengetahui bahwa yang lama, itu juga yang baru

Goethe, Penggalan Syair “Permintaan Maaf”

Sangatlah besar penghargaan Goethe terhadap karya satra Arab, membuktikan kedekatannya secara pribadi dengan warna dan nilai sastra maha tinggi ini. Dalam beberapa puisi, Goethe terkesan mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada bangsa Arab karena cukup mengilhami dan mengkontribusikan warna sastra tersendiri dalam karya-karyanya.

Perkenalan Goethe dengan sastra Arab, secara intensif bermula semenjak ia sebagai mahasiswa di Universitas Leipzig, tahun 1761 atau pertengahan abad ke XVIII. Saat Barat menyemarakkan studi-studi antropologis dan ekspedisi-ekspedisi geografis ke daratan Arab. Dalam buku ke enam dari “Puisi dan cinta”, Goethe mencatat perhatian besarnya pada hasil-hasil ekspedisi itu. Terutama pada Carsten Neibhur yang pernah megunjungi Mesir, Yaman dan daerah-daerah Arab lainnya (1767). Buku Nibhur yang paling ia kagumi, berjudul “Beschreibungen von Arabien” atau Deskripsi tentang negara-negara Arab, (1767) dan dua jilid buku berjudul “Reisebeschreibung nach Arabein und anderen umliegenden laendern” atau Investigasi deskriptif ke negara-negara Arab dan sekitarnya, (Kophenhagen 1774, 1778). Dua buku ini mengilhami Goethe dalam satu karya drama berjudul “Muhammad” ia tampilkan di theatre Voltaire tahun 1800. Goethe mempelajari kesusastraan Timur, tentunya tidak hanya dari Nibhur, tapi juga dari beberapa pakar kebudayaan Arab lain yang sering ia sebut. Di antaranya Peitro della Valle (1587-1652), Jean Baptiste Tavernier (1605-1689), dan Khususnya Jean Chevalier de Chardin (1643-1713) yang banyak mengumpulkan khazanah sastra arab.

Di Leipzig, Goethe lebih mencurahkan perhatiannya pada sastra petualangan. Saat itulah Goethe mulai berkenalan dengan Al-Mutanabbi, penyair sufi populer di kalangan Islam, dari satu kasidah yang diterjemahkan Johann Jacob Reiske, seorang pakar bahasa arab pada masa itu. Perhatian Goethe pada sastra Arab tidak di Leipzig saja, namun kedekatannya dengan Timur berkembang ketika di Strassburg, di Universitas ini ia bertemu Johann Gottfried Herder, kakak kelasnya yang juga seorang pakar kebudayaan Timur, Herderlah yang mengarahkan Goethe mendalami bahasa Arab, sastra Arab jahili, sastra Islam dan mempelajari Al-Qur’an.

Meski demikian, tidak banyak yang mengakui kedekatan Goethe dengan dunia sastra timur. Fritz Strich dalam bukunya “Gothe dan Kesusastraan Dunia” (1946. 2. verb. U. erg. Auflage 1957), menyatakan tidak menemukuan bukti empiris pengaruh sastra Arab lama dalam karya-karya Gothe. Tapi bila ditelusuri lebih jauh satu karya monumental Gothe yang ia sebut “Ontologi Puisi Timur”, sangat jelas warna dan nuansa sastra timur terasa mendominasi gaya dan settingnya.

Katharina Momsen, dalam bukunya “Gothe dan Seribu Satu Malam” (1981) mengungkap keterkesanan Gothe akan dunia sastra timur. Ini terlihat dari dialog intensif Gothe dengan karya-karya puisi agung jahili yang diabadikan dengan nama “Mu’allaqaat As-Sab’a” (7 kasidah cinta emas) dan salah satu cerita rakyat (safar) Arab yang dikenal dengan “Seribu Satu Malam”. Demikian juga kagumanya akan sederet nama penyair Arab jahili, Imru Al-Qays, Amru bin Kultsum, Antara, Al-harits, Hatim Al-Tha’i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi’ah, Tharfa bin ‘Abd, dan Zuhair bin Salma. Untuk itu, tulisan singkat ini mencoba menggali warna dan ruh sastra arab dalam karya-karya Gothe, mungkinkah hal ini mengindikasikan lintas budaya Arab khususnya Islam dengan kebudayaan pada masa Gothe.

Goethe dan Seribu Satu Malam
Tidak diragukan lagi hubungan erat Gothe dengan cerita rakyat ini. Satu khazanah sastra yang mendapat penghargaan besar dari bangsanya sendiri dan diklasifikasikan sebagai salah satu “Buku Ibu” sastra tradisional Arab. Katharina Momsen menyebutkan, kisah ini mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya Gothe. Ia mulai tertarik dengan cerita-cerita itu semenjak kecil dari Ibu dan neneknya. Sehingga wajar kisah sastra milik bangsa Arab ini memiliki tempat tersendiri di hati Gothe. Tidak dari sisi pembahasaan saja, tapi juga isi, pola penulisan dan nilainya.

Dalam beberapa puisinya, Gothe banyak menyebut “Syahrazaad” (tokoh pencerita dalam Seribu Satu malam). Memerankannya untuk mengungkapkan perasaan tertentu. Seseorang yang mengkritisi kumpulan karya Gothe, akan menemui suatu pola penulisan baru yang selalu ia gunakan. Gothe dalam beberapa karyanya sengaja membanding-bandingkan diri kepenyairan dengan Syarazaad, yang dengan begitu ia mendapati sisi-sisi unik kepenyairan dalam karakteristik Syahrazaad. Hal ini sangat mempengaruhi cara penulisan cerita Gothe. Salah satu novel terkenalnya “Wilhelm Meisters Wanderjahre” (Tahun-tahun pengembaraan di Wilhelm Meisters), cukup membingungkan para kritikus yang mencoba mengidentifikasi dasar bangunan dan komposisi cerita. Penulisan novel ini terkesan tidak terikat dengan kaidah tertentu, bebas dan lepas. Sehingga membutuhkan penelusuran lain dari sisi kesatuan cerita dan keterkaitannya satu sama lain. Namun pencarian ini tidak akan menemukan hasil yang tepat, karena dalam menulisnya, Gothe mengakui menggunakan pola penceritaan Syahrazaad dalam Seribu Satu Malam.

Novel ini ia serahkan kepada khlayak tidak dalam bentuk karya lengkap dan tuntas, namun disajikan dalam beberapa edisi dan bersambung. Berbentuk cerber atau drama dalam beberapa babak. Hal ini menurutnya demi menekankan keutuhan isi dan susunan bahasa pada setiap bagian cerita, dengan begitu kalayak akan mendapati kesan tersendiri dalam keindahan bahasa dan isinya. Pola penulisan ini juga ia gunakan dalam “Unterhaltungen Deutscher Ausgewanderten” (Percakapan Para Pengungsi Jerman). Karya ini ia sajikan seperti Seribu Satu Malam, bersambung dan terbagi dalam beberapa edisi. Menekankan hanya satu peristiwa dalam tiap bagian cerita, dan demikian selanjutnya dalam beberapa edisi. Karyanya yang lain dengan pola penulisan yang sama adalah “Puisi dan Hakikat” dan “Selama Perjalanan ke Italia”.

Tentunya keterpengaruhan Gothe oleh Seribu Satu Malam tidak melulu dalam pola penulisan, namun terkadang ia juga meminjam tema, judul cerita dan penokohan dari Seribu Satu Malam. Bahkan dalam satu drama yang ia tulis ketika masih muda berjudul “Fantasi Pecinta”, salah satu tokohnya bernama Aminah, ia ambil dari cerita Seribu Satu Malam. Di sini ia tidak hanya menggunakan nama tokoh, tapi juga memerankan Aminah sesuai setting dan karakteristik yang diperankan dalam Seribu Satu Malam. Nuansa drama ini terkesan disominasi karya sastra milik bangsa Arab itu.

Goethe Dan Sastra Jahili
Orang pertama mengenalkan dunia barat dengan sastra Arab jahili adalah, William Jones (1746-1794), dengan bukunya, “Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex” atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang di terbitkan tahun 1774. Semenjak itu karya ini mewarnai wacanaa sastra Barat dengan bertebarannya bentuk asli juga terjemahan-terjemahannya.

Dalam banyak hal, Goethe nampak mecurahkan segenap perhatiannya pada kreatifitas bangsa Jahili itu. Ini bisa kita baca dari ungkapannya. “Bangsa Arab adalah bangsa yang membangun kebesarannya dari warisan sejarah moyang dan memegang teguh adat istiadat yang mereka anut semenjak dahulu kala.”

Beberapa hal yang membuat Gothe jatuh hati pada sastra jahili. Pertama, ciri-ciri umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan dan cara hidup. Begitu juga ketinggian bahasa yang mampu menghiasi sesuatu menjadi begitu indah dengan bahasa-bahasa singkat. Selain itu, keterpautannya dengan alam, penggambaran tentang gairah hidup, tanggung jawab, keabadian cinta, kesetiaan, pengorbanan, kepatuhan dan keteguhan mereka memegang kepercayaan. Ciri-ciri ini didukung kondisi alam dan bentuk sektarian struktur sosial Arab. Seperti banyaknya pertikaian antar etnis yang memunculkan peran-peran keperwiraan dan kejantanan dalam puisi-puisi jahili. Demikian juga cara hidup nomaden. Sehingga hampir keseluruhan sastra jahili berbentuk sastra petualangan.

Buku Zulikha, yang ia tulis setelah berpisah dengan Marianne Willemer sang kekasih (1815), sangat mirip dengan langgam puisi Imru’ Al-Qays.

26 September 2001


http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=560

>Sabtu, 9 Maret 2002 "Opera Diponegoro" Humanisme di Tengah Peperangan

>Sabtu, 9 Maret 2002

"Opera Diponegoro"
Humanisme di Tengah Peperangan

KOBOI berkuda (kepang) putih itu mendadak nyelonong di tengah kerumunan serdadu Belanda dan rakyat jelata yang akan dieksekusi. Si koboi yang bertopi, berbaju kotak-kotak dan celana jins bicara casciscus: "I wanna seek Osama bin Laden. He's a dangerous, very dangerous man. You know?" katanya. Ia sesekali menelepon lewat telepon genggam, mungkin tengah berhubungan dengan pusat intelijen di AS.
Nama Osama bin Laden yang tengah diburu si koboi (intel AS) di Jawa, segera diplesetkan para pribumi itu sebagai hendak mencari tenaga tukang laden (Jawa: pelayan). Mereka pun beramai-ramai memasang jenggot palsu, karena disangka bahwa yang dibutuhkan TKI berjenggot...

Adegan kocak itu muncul dalam Opera Diponegoro (OD) yang dipentaskan ulang di Auditorium RRI Surakarta, 1-5 Maret 2002. Sukses yang dipetik OD tentu bukan semata-mata lantaran Sardono W Kusumo menyelipkan adegan-adegan kocak, tetapi karena nilai kontekstualnya.

Masuknya tokoh "intel AS", juga tokoh "wartawan perang" peliput dalam OD kali ini, tak lain adalah siasat Sardono untuk lebih mengaktualisasikan pesan dan gagasannya akan tema kemanusiaan dan perdamaian dari perjuangan Diponegoro sendiri. Sekalipun tidak lepas dari kerangka, penyajiannya di panggung kadang terasa agak artifisial.

Bagi Sardono yang berpegang pada konsep "teatralisasi sebuah gagasan (besar) lebih utama daripada sekadar bentuk", OD niscaya menjadi wahana bagi obsesinya untuk melakukan kampanye antikekerasan.

"Apakah kamu bisa membuktikan apa kesalahan Diponegoro? Apakah betul bahwa Diponegoro seorang tokoh teroris? Lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan oleh peperangan ini?" Pertanyaan menggugat yang dilontarkan tokoh Surobrojo ini jelas relevan disampaikan kapan saja.

Wartawan

Munculnya tokoh wartawan, sebagaimana dituturkan Sardono yang mengutip Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta, laporan tentang situasi perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro itu ditulis hanya selang dua pekan setelah perang berlangsung. Laporan berbentuk babad itu dinilai tak ubahnya sebagai bentuk jurnalistik. Sekaligus memberi makna Kota Solo sebagai perintis penerbitan pers di Indonesia.

Wartawan perang itu, yang diperankan Hanindawan, menjadi sosok segar yang mampu melintas ruang dan waktu. Maka ia memberi logika hadirnya "intel AS". Sekali waktu ia bertindak selaku narator yang memberitahu penonton bahwa eksekusi atas Surobrojo, serdadu kompeni yang mbalelo, benar-benar tercatat dalam Babad Diponegoro.

Ia pun hadir di tengah-tengah peperangan yang baru saja usai. Dan menjadi saksi akan kepiluan hati Diponegoro yang menyesali akibat peperangan. Perang Jawa (1825-1830) yang dia kobarkan ternyata memakan korban nyawa sanak-saudara, tetangga dan bangsanya sendiri.

Pemberontakannya terhadap penindasan pemerintah kolonial Belanda, memperhadapkan para prajurit Diponegoro dengan prajurit dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang sesungguhnya masih kerabatnya sendiri. Menurut catatan, 200.000 pribumi dan 7.000 prajurit Belanda tewas.

Diponegoro digambarkan hancur hatinya. Ia pun minta dipapah, dan wartawan tadi membantunya menutup mata sang pangeran dengan kain hitam lantaran tak tega menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan, di antaranya bahkan para perempuan yang menyamar sebagai prajurit laki-laki. Sebuah tembang Megatruh mengalun pilu mengantar kepergiannya.

Humanis

Bagi Sardono (57), yang mendasarkan penyusunan repertoar OD dari tak kurang 20 naskah referensi; sekalipun Diponegoro dikenal sebagai pejuang yang melawan penindasan yang dilakukan oleh sistem kolonial Belanda, Diponegoro sesungguhnya sosok yang humanis dan pejuang HAM.

"Sekalipun dalam perjuangannya ia banyak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi dalam banyak hal Diponegoro-seperti tertulis dalam otobiografi yang ditulisnya sendiri-menentang segala bentuk kekerasan. Platform perjuangannya sesungguhnya bersifat universal," tuturnya. Fakta itu, lanjutnya, merupakan counter terhadap fenomena kekerasan yang menyangkut citra Islam di masyarakat akhir-akhir ini.

Diponegoro dilukiskan menolak Wali Sanga yang membaiatnya sebagai pemimpin perang yang akan membebaskan tanah Jawa dari belenggu penjajahan, sebab kalbunya menolak kekerasan. Tawaran dari Penguasa Laut Selatan yang akan membantunya dalam peperangan, pun ditampiknya.

Ia juga menolak godaan wanita (jin?) dan sebaliknya pasrah kepada pertolongan Tuhan. Ini untuk menggambarkan keimanan Diponegoro yang kuat terhadap agama (Islam). Ini sekaligus memberikan gambaran sikap toleran seorang pemimpin umat-ia mendapat gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Kalifah Rasulullah-terhadap keberagaman atau pluralisme. Dalam OD ini, digambarkan bahwa sebagai Muslim, Diponegoro secara tak langsung menghormati keberadaan sistem kepercayaan yang hidup di masyarakat saat itu, yang masih dikuasai gugon-tuhon dan mistik.

Esensi perjuangan Diponegoro yang universal ternyata bergema di mana-mana. Menurut catatan, surat kabar Le Monde terbitan Paris tahun 1840 memuat simpati kalangan intelektual Eropa terhadap perjuangan Diponegoro, dan di sisi lain mereka memprotes sistem kolonialisme yang diterapkan oleh Kerajaan Belanda di tanah Jawa (Indonesia).

"Para intelektual Eropa itu jelas bukan berasal dari Islam tetapi dari kalangan Katolik, Protestan, Cauvinis. Itu membuktikan bahwa perjuangan Diponegoro tidak mengenal wilayah agama," ujar Sardono. (Ardus M Sawega)

Chusin Merusak Realisme Lukisan

>Sabtu, 9 Maret 2002

Chusin Merusak Realisme Lukisan

IKAN asin terpotong di dalam bingkai-bingkai persegi. Tubuh perempuan demikian juga, bingkai-bingkai yang memuat potongan-potongan gambar itu menjadi seperti permainan puzzle. Ada juga karya yang sebagian digarap sepenuhnya dengan cat berwarna-warni, sebagian lain hanya dengan arang.
Itulah Chusin Setiadikara (53), seorang pelukis yang piawai membuat gambar-gambar yang tepat seperti dipandang oleh mata kamera. Tetapi, ia tidak hanya memindahkan wujud fotografis itu ke atas kanvas. Ia juga menggubahnya, menyutradarai adegan, memadu berbagai unsur, menggarap suasana, atau mengakali kanvasnya, sehingga memunculkan pemandangan dan kehidupan baru.

Kisah Chusin menggenapi cerita panjang seni lukis bergaya realisme di Indonesia. Puluhan tahun ia terlatih di dalam bahasa realisme fotografis tersebut, dan sekitar 10 tahun terakhir secara bersungguh-sungguh ia mencari jalan baru.

Pamerannya di Galeri Nasional, Jakarta, 20 Februari-6 Maret 2002, menunjukkan kepercayaannya bahwa bahasa visual tersebut tidak macet. Ia bisa menggunakannya untuk suatu tujuan yang berada di luar tradisi gaya seni itu, sebuah dunia lain yang belum jelas benar ujungnya namun sungguh patut untuk ditekuni.

Pernyataan seni ini ia harapkan bisa bergaung pula ke kawasan lain dengan memindahkan pameran ke Washington DC, 7 Juni-15 Juli 2002. Kegiatan seni di Amerika Serikat itu mengambil tempat di CP Artspace, di mana sebelumnya telah berpameran tunggal Sunaryo dan disusul Entang Wiharso.

Bekal kemampuan teknis mencipta rupa realistik pada Chusin diiring oleh kesenangannya memotret. Ia berkali-kali memotret Pasar Kintamani, Denpasar. Dari foto-foto itulah ia menggubah Pasar Kintamani I (1994), yang bukan hanya memberi suasana sebuah pasar tradisional yang segera digusur, tetapi juga pengalaman visual yang hebat. Ia menggambar anak tangga yang menurun menuju kerumunan pedagang dan pembeli. Dalam pameran, lukisan itu dipajang menjorok masuk ke dinding, memberi dimensi baru yang menempatkan pelihat pada anak tangga yang lebih tinggi lagi.

Topik yang juga ia sukai adalah ikan asin. Ia melihat ikan asin bisa mewakili gambaran sebagian masyarakat Indonesia, cukup bergizi dan harganya terjangkau. Dengan membaginya di dalam lima panel (Ikan Asin Tahun 2000, 2000) atau memisahkannya di dalam tiga bidang (Cukup untuk Beli Ikan Asin, 1999), ia seperti ingin menandai adanya sekat-sekat di dalam pergaulan masyarakat. Bisa juga pemisahan itu berfungsi estetik, membuyarkan "rasa" realistik untuk memunculkan gejala rupa yang lebih mendukung. Akibatnya penikmatan terganggu.

Penyekatan atau pemisahan lewat bingkai-bingkai seperti itu memang muncul dalam sejumlah karya. Tujuannya bisa perlambang, mungkin sekadar tanda-tanda sosial atau kultural, atau kebutuhan estetik, dan boleh jadi gabungan dari berbagai fungsi tersebut.

Pada Disharmony (1999) penyekatan itu bisa berfungsi estetik maupun perlambang. Ini merupakan karya "instalasi" yang menggunakan lukisan sebagai unsur-unsurnya. Lukisan itu berupa seorang perempuan menyandarkan kepala ke lengan memegang setangkai mawar yang menunduk itu terbagi di dalam sembilan kotak mirip perangkap atau terali penjara. Di bagian bawah muncul tangan kekar memegang sabit atau celurit. Pada samping kanannya lebih jelas muncul sosok perempuan dengan mulut diplester, dan di atas sebagian wajah dalam gelap.

Apakah ia tengah berbicara tentang nasib perempuan atau kaum terpinggirkan atau minoritas oleh sistem yang menindas? Kalau benar sangat mungkin ia dipicu oleh kerusuhan Mei 1998, dan sama berdaya guna dengan berbagai gaya ungkap yang dilakukan oleh sejumlah seniman lain dalam topik serupa.

Selain instalasi, ia juga menempelkan foto seperti pada Star Track (1997). Lukisan itu juga memberi contoh kesukaannya menggabungkan berbagai ciri lukisan, yaitu realistik dengan model dua gadis berkain Bali, dan lukisan serba pipih dari tradisi lukisan Bali. Misinya tentu ingin menggambarkan betapa Bali (atau Indonesia?) menghidupi berbagai bentuk kebudayaan pada waktu bersamaan. Atau, keragaman budaya adalah keniscayaan.

Yang juga banyak mendapat sorotan pengunjung sepanjang dua pekan pamerannya di Jakarta adalah kesukaannya menggabungkan drawing dan lukisan. Pada sejumlah kanvasnya muncul penggambaran yang "selesai" dengan cat minyak berwarna-warni, dan disandingkan begitu saja dengan arsiran lewat arang. Seorang pria pedagang di pasar bahkan tampak sebagian jaketnya berupa lukisan, separuhnya hanya jejak-jejak garis hitam arang.

Dalam hal ini tampaknya langkah penggabungan itu lebih sebagai pernyataan seni: ia tidak membedakan antara lukisan dan drawing, sebuah tindakan yang juga dilakukan sejumlah seniman.


***
UPAYA Chusin lebih menarik ketika ia mengganggu karyanya yang-bagi orang lain-sudah rampung atau praktis selesai. Gangguan itu tidak sekadar membaginya ke dalam bingkai, menyekat, atau memotong-motong citranya, sehingga penikmatan terganggu.

Chusin memang tidak se-ekstrem para pembuat hiasan bade. Para seniman Bali itu sadar bahwa mereka berkarya khusus untuk dibakar bersama jenazah di tengah upacara ngaben, namun, toh, mereka melakukannya sepenuh hati.

Apa yang Chusin lakukan adalah "merusak" lukisannya sendiri. Ia merusak justru untuk membuatnya sempurna, sebuah laku perbalikan atau peloncatan makna yang sangat menarik.

"Saya harus melakukannya, kalau tidak saya akan tetap menganggap karya saya belum selesai, dan saya akan gelisah terus," tuturnya menunjuk Gadis Kebaya Merah (2001) di ruang pameran.

Tampak di kanvas berukuran 118 cm x 150 cm itu seorang gadis berkebaya merah dan sarung biru dan seorang gadis telanjang. Keduanya tampil sempurna, selesai sampai rincian paling lembut. Sapuan cat warna putih keabuan yang tak beraturan melanda latar, melingkupi si gadis berkebaya, dan tanpa ampun menerjang tubuh bugil yang terletak di atasnya.

Membuat lukisan berisi dua perempuan tersebut memakan waktu panjang. Mencari ide tentang sentuhan akhir itu butuh waktu berbulan-bulan. Ketika Kompas berkunjung ke rumah dan studionya di Bali tahun lalu, ia sudah dua bulan selalu termangu di depan kanvas yang sudah memberi pemandangan hebat. Apa yang ingin ia lakukan memang mengerikan: menghancurkan lukisan yang bagus.

Ketika ketemu cara "menghancurkan" itu, pelaksanaannya sangat singkat. Katanya, "cukup 10 menit saya mainkan kuas, selesai."

Sapuan cat transparan putih keabuan itu menghancurkan komposisi lama, merusak semua hal yang serba rapi dan tertib. Dengan itu muncullah keseimbangan baru: sifat tak beraturan yang menyatu dengan semua unsur yang serba tertib.


***
APAKAH dengan mengganggu penikmatan, membuyarkan citra realistik, dan "menghancurkan" keindahan visual bahasa rupa realistik itu, ia akan melaju di dalam percaturan seni lebih lanjut?

"Saya akan terus mencoba. Saat ini tentu saya belum tahu lagi harus melakukan apa kecuali terus melukis, siapa tahu saya akan menemukan sesuatu nanti," tuturnya. (EFIX)

Humanisme Kaum Tertindas dalam Cerpen Laskar di Garis Belakang Karya Budi P. Hatees Dadan S. Sanusi

Humanisme Kaum Tertindas dalam Cerpen Laskar di Garis Belakang Karya Budi P. Hatees
Dadan S. Sanusi

1. Komponen Dasar Semiotika Kata semiotika berasal dari kata yunani semion, yang berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda, termasuk pengirim dan penerima tanda. Menurut Made Sukada (1987:35) semiotika sesungguhnya merupakan perkembangan dari strukturalisme sesudah mendapat tanggapan dari teori resepsi. Dengan demikian yang dimaksud dengan semiotika pada dasarnya adalah strukturalisme-semiotik. Semiotika mempunyai dua bapak: yang pertama Peirce (1834-1914) yang membagi tiga kategori pokok: Pertama, perkara tanda dengan ground-nya (dasar penafsiran) yang terbagi atas qualisign, sinsign dan legisign (Zoest, 1993:18-19). Kedua, tanda dengan denotatum-nya (acuan penafsiran) yang terbagi atas ikon, indeks dan symbol (Zoest, 1993:23-25). Ketiga, tanda dengan interpretant-nya (tafsirannya) yang terbagi atas rheme, dicisign, dan argument. Bapak semiotika yang kedua adalah Saussure (1857-1913) yang menemukan pemikiran semiotika dari hasil pengkajiannya terhadap bahasa. Menurut Saussure (dalam Zoest, 1993:145-148) tanda bahasa merupakan kombinasi konsep dan gambar yang berwujud citra akustik.

Dengan demikian tanda terdiri atas penanda (citra akustik) dan petanda (konsep). Petanda dan penanda ini merupakan dua hal yang niscaya hadir dalan sebuah sistem tanda.

2. Analisis Aspek Sintaksis
Untuk sampai pada analisis makna diperlukan analisis aspek sintaksis, semantis dan verbal (Todorov, 1985:12). Analisis aspek sintaksis memperlihatkan bahwa sebuah teks terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan. Melalui telaah aspek sintaksis, karya sastra dapat diuraikan menjadi unsur-unsur terkecil berupa sekuen. Analisis sintaksis akan memperlihatkan alur dan pengaluran. Alur ini diperlihatkan melalui pungsi utama dan pengalurannya melalui analisis sekuen-sekuen. Sedangkan analisis aspek semantis dan analisis aspek verbal tidak dilakukan di gunakan dalam analisis teks ini.

2.1 Struktur Alur
Untuk sampai pada pembicaraan alur, maka terlebih dahulu harus kita analisis fungsi-fungsi utama cerpen ini. Urutan fungsi utama dalam cerpen ini adalah:
1) Kepergian sang tokoh dari desanya untuk merantau ke Jakarta
2) Perjalanan menyebrangi Selat Madura dengan perahu nelayan
3) Perjalanan ke Surabaya dengan sebuah truk pengangkut garam
4) Tindakan sang tokoh setelah sampai di Surabaya
5) Obsesi sang tokoh untuk pergi ke Jakarta
6) Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati
7) Ketidak mengertian sang tokoh terhadap sikap Pasukan Berani Mati
8) Sikap sang tokoh untuk tidak mengemukakan pikiran-pikirannya terhadap mereka
9) Kesibukan saat jadwal keberangkatan tiba
10) Keinginan sang tokoh untuk kembali dan tinggal di kampung halanannya.

Yang menggerakan cerita ini pertama-tama adalah kepergian sang tokoh dari desanya untuk merantau ke Jakarta (f1). Pejalanan menyebrangi Selat Madura dengan perahu nelayan (f2). Kemudian perjalanan ke Surabaya dilakukannya dengan sebua truk pengangkut garam (f3). Setelah sampai di Surabaya, sang tokoh mendaftar jadi anggota Pasukan Berani Mati (f4). Sang tokoh sangat terobsesi untuk pergi ke Jakarta (f5). Dalam beberapa percakapan, sang tokoh berusaha meyakinkan komandan Pasukan Berani Mati (f6). Tetapi sang tokoh tidak mengerti terhadap sikap Pasukan Berani Mati yang rela mati hanya untuk Presiden-nya (f7). Pikiran-pikiran tersebut tidak ia kemukakan kepada mereka, karena tidak mungkin mereka bisa diajak berpikir secara logis (f8). Hingga tibalah jadwal keberangkatan (f9). Tetapi sang tokoh memutuskan untuk kembali dan tinggal di kampung halamannya (f10).

2.2 Struktur Pengaluran
Dari analisis keseluruhan cerpen Laskar di Garis Belakang, dapat ditemukan 18 sekuen induk, termasuk di dalamnya 2 sekuen sorot balik yaitu sekuen yang menampilkan lagi masa lampau dalam satu rangkaian peristiwa dan satu sekuen yang menempilkan peristiwa yang belum terjadi.

Cerita diawali dengan kepergian sang tokoh untuk merantau ke Jakarta (sekuen 1). Sekuen ini meliputi harapan sang tokoh untuk merubah hidupnya dengan pergi ke Jakarta (sekuen 1.1) dan asumsi orang-orang tentang kemudahan hidup di Jakarta asal dekat dengan penguasa (sekuen 1.2). Perjalanan menyebrangi Selat Madura dilakukannya dengan menggunakan perahu nelayan terdapat pada sekuen 2, kecurigaan pemilik perahu terhadap sang tokoh (sekuen 2.1) kemudian ia muntah-muntah dan diuruti oleh nelayan (sekuen 2.2), kecemasan jika perahu itu karam (sekuen 2.3) tetapi akhirnya ia tahu bahwa pemilik perahu itu ternyata seorang pelaut handal (sekuen 2.4) hingga meringkuk di geladak dan menyesali kenekatannya (sekuen 2.5). Sekuen 3 berupa tindakan sang tokoh ketika sampai di darat, sedangkan sekuen 4 berupa pesan dari pemilik perahu untuk tidak melupakannnya kalau ia sudah berhasil di Jakarta. Sang tokoh melanjutkan perjalannannya ke Surabaya dengan menggunakan sebuah truk pengangkut garam (sekuen 5). Sekuen ini memiliki beberapa sekuen lagi sebagai sekuen di bawahnya. Keinginan sopir dan kenek truk untuk dibayarkan makan siang (sekuen 5.1), tetapi ternyata sang tokoh tidak mempunyai uang, hanya selembar nyawa (sekuen 5.2) sehingga mereka bisa memakluminya (sekuen 5.3) dan mereka bercakap-cakap hingga sampai di Surabaya (sekuen 5.4). Kemudian sekuen 6 berupa tindakan sang tokoh setelah sampai di Surabaya dan sekuen 7 berupa deskripsi tentang sang tokoh yang mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati.

Pada sekuen 8, kita akan mendapatkan sekuen sorot balik berupa bayangan sang tokoh tentang orang-orang di kampungnya yang sangat taklit terhadap para Kiai. Semua orang muda mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 8.1) sedangkan sang tokoh menolak alasan-alasan bahwa mereka akan berperang dengan orang-orang jahat (sekuen 8.2) hingga orang-orang kampung curiga dan mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia tidak mau mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 8.3) sehingga akhirnya sang tokoh memutuskan meninggalkan kampung untuk menghindari pertentangan dengan mereka (sekuen 8.4). Keadaan seperti inilah yang menjadikan salah satu sebab keberangkatan sang tokoh dari kampungnya. Lantaran tidak ingin ada persoalan, aku putuskan meninggalkan kampung. Aku tidak tahu mau kemana sampai terpikir untuk ke Surabaya saja. (Hatees, 2001:2).

Humanisme sang tokoh mengatakan bahwa tidak ada para penjahat yang harus ia perangi, tetapi ia juga tidak mau bertentanan dengan orang-orang kampung. Sehinga ia putuskan untuk meninggalkan kampung halamannya. Tetapi setelah samapi di Surabaya, sang tokoh tidak mendapatkan pilihan, selain mendaftar menjadi Pasukan Berai Mati agar bisa sampai ke Jakarta.

Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati tentang kesetiaannya terhadap Presiden terdapat pada sekuen 9, sedangkan sekuen 10 berupa obsesi sang tokoh untuk pergi ke Jakarta. Sekuen Sorot balik berupa bayangan sang tokoh tentang kehidupan di kampungnya akan ditemukan kembali pada sekuen 11. Hampir semua penduduk hidup sebagai buruh tani akibat kebodohan mereka menjual tanah pada orang-orang kota (sekuen 11.1). Sedangkan pada sekuen 11.2, sang tokoh mendeskripsikan penindasan tuan tanah terhadap buruh tani di kampungnya, dan sekuen 11.3 berupa deskripsi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap sang tokoh dan keinginan untuk meninggalkan hidup seperti itu. Sekuen inilah yang menjadi alasan lain sehingga sang tokoh meninggalkan kampung halamannya.

Hidup seperti itulah yang ingin aku tinggalkan. Aku merasa tidak pernah merdeka dalam situasi seperti itu, karena senantiasa selalu jadi sasaran kemarahan pemilik lahan yang merasa hasil budidaya kurang dan menuduhku melakukan korupsi. Aku selalu ingin menghajar para pemilik lahan itu kalau tidak mendengarkan apa kata orang tuaku. Makanya, takut suatu saat aku akan lupa diri dan tidak bisa mengendalikan emosi, kuputuskan meninggalkan semuanya (Hatees, 2001:4).

Sang tokoh adalah representasi dari kaum tertindas. Keberpihakan dan humanisme kaum tertidasnya ia kontadiksikan. Kontadiksi tidaklah berarti sealu mempertentangkan, tetapi kontradiksi bisa dijadikan energi dinamis, dan kontadiksi bisa berarti penyatuan. Kontradiksi yang dimaksud di sini adalah kontradiksi untuk melalukan proses penyatuan antara keberpihakan terhadap kaum tertindas dan humanisme kaum tertindas. Sekuen 12 kembali pada kisah sang tokoh di Surabaya berupa Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati tentang asal-usul sang tokoh, sedangkan sekuen 13 berupa aktivitas sang tokoh di tempat pendaftaran. Pada sekuen 14 kembali kita temukan sebuah deskripsi pemikiran sang tokoh tentang ketidakmengertian terhadap sikap Pasukan Berani Mati hinga bersedia mati untuk Presidennya. Tetapi sang tokoh memilik untuk tidak mengemukakan pikiran-pikirannya karena tidak mungkin mengajak mereka untuk berpikir secara logis (sekuen 15). Sekuen 16 berupa kesibukan saat jadwal keberangkatan tiba. Komandan Pasukan Berani Mati mengatur keberangkatan (sekuen 16.1) sedangkan sang tokoh terlibat percakapan dengan salah seorang anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 16.2) dan tiba-tiba muncul perasaan kecut untuk berangkat ke Jakarta (sekuen 16.3). Sang tokoh meninggalkan tempat pendaftaran dan tidak kembali lagi (sekuen 16.4). Pada sekuen 17 kita akan mendapatkan sekuen yang menampilkan peristiwa yang belum terjadi berupa bayangan sang tokoh tentang nasibnya di Jakarta jika ia jadi pergi. Sebagai sekuen penutup (sekuen 18), keinginan sang tokoh untuk kembali dan tinggal di kampungnya. Secara kuantitatif, sekuan yang menunjukan realitas/peristiwa lebih banyak jika dibandingkan dengan sekuan gagasan/pikiran, yaitu sebanyak 12 sekuen dari 18 sekuen induk. Sedangkan sekuen pikiran hanya 6 sekuen induk dan satu sekuen bagian.

Situs [aikon!]N. RIANTIARNO -TEATER KOMA HUMOR SOSIAL POLITIK GAYA INDONESIA Gedung Kesenian Jakarta 24-25 September 2001, pukul 20.00 WIB

Situs [aikon!]N. RIANTIARNO -TEATER KOMA
HUMOR SOSIAL POLITIK GAYA INDONESIA
Gedung Kesenian Jakarta
24-25 September 2001, pukul 20.00 WIB
Lakon : Presiden Burung-burung
Karya/Sutradara : N Riantiarno
Asisten Sutradara : Idries Pulungan dan O'han Adiputra
Penata Artistik : Rudjito
Penata Musik : Idrus Madani
Penata Cahaya : Tasch Budiarto
Penata Gerak : Ratna Ully
Penata Suara : Totom Kodrat
Penata Busana : Alex Fatahillah
Penata Rias & Rambut : Sri Dadi Adhipurnomo
Penata Multi Media : Idries Pulungan
Pimpinan Panggung : Sari Madjid
Pimpinan Produksi : Ratna Riantiarno
Para Pemain : N Riantiarno, Ratna Riantiarno, Syaeful Anwar,
Rita Matu Mona, Idries Pulungan, Dudung Hadi, Budi Ros, Alex Fatahilah, Sri Dadi
Adhipurnomo, Emanuel Handoyo, Dorias Pribadi, Asmin TM, Daisy Kojansow, Ratna
Ully, dan lain-lain.
Alkisah, Sebuah Negeri. Sejarah terulang kembali. Chaos, kerusuan massal,
rebutan pengaruh dan kekuasaan, krisis kepercayaan. Dan rakyatpun menuntut
tanggungjawab sang penguasa yang baru saja lengser.
Sebuah Negeri. Sekitar 30 tahun lalu, dia mengambil alih kendali kekuasaan.
Kemudian, dia berkuasa mutlak. Dia dianggap dalang berbagai penculikan dan
pembunuhan para aktivis pro-kebebasan. Selama 30 tahun dia menumpuk harta. Tapi
kini, dia hanya kakek renta yang suka bersandiwara dengan kursi roda. Kini dia
cuma mantan presiden yang memiliki banyak burung yang setia. Hanya
kenang-kenangan masa lalu, jadi penghiburnya. Kini, dia hanyalah Presiden bagi
burung-burungnya.
Sebuah Negeri. Dia sendiri. Ditinggalkan. Dihindari seperti cacar. Dilupakan.
Semua yang dia cintai, pergi. Sisa hidup cuma sia-sia.
Rahwana Masih Hidup. Rahwana ("Darah dari Dalam Rimba") tidak mati. Maharaja
Kejahatan yang paling ditakuti dan paling dikutuk itu, menderita karena tubuhnya
digencet dua bukit kemdar. Hanya kepalanya yang nampak. Tapi rahwana, yang juga
disebut Dasamuka (Sepuluh Muka), masih mencoba menggertak dunia. Sumpahnya
dengan kegeraman yang amat dalam; "Akulah Rahwana. Dasamuka. Aku sepuluhj
keburukan watak manusia yang menyatu didalam kecebong sperma. Aku
melayang-layang, mengambang di udara mencari mangsa. Aku berusaha menyatu dengan
jiwa manusia, bersarang di rahim nurani. Aku pejantan yang membuahi syahwat. Aku
berjuta gelembung, memancar dari dalam kepalaku yang sengsara. Aku jiwa yang
kecewa, penuh benci. Aku marah dan tidak sudi diremehkan. Aku ingin, apa yang
sekarang kuderita, juga harus diderita manusia. Oo, aku takut sendirian. Aku
tidak ingin dilupakan…"
Dia Rahwana. Dia mengubah diri jadi berjuta-juta gelembung tak nampak. Dia
spirit hitam yang selalu mempengaruhi kita. Hingga kini. Tapi, siapakah Rahwana?
Siapakah Dasamuka? Siapa dia? Siapa kita?
N Riantiarno, aktor, penulis, sutradara. Lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni
1949. Menggeluti teater mulai 1965, di Cirebon. Melanjutkan kuliah di Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI). Kemudian bergabung dengan Teguh Karya dan ikut
mendirikan Teater Populer, 1968.
Mendirikan Teater Koma, 1977. Hingga kini, 2001, sudah menggelar 94 produksi
panggung maupun televisi. Beberapa produksi panggung penting yang disutradarai
antara lain: Rumah Kertas, Maf-Maaf-Maaf, J.J., Kontes 1980, Bom Waktu, Suksesi,
Opera Kecoa, Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat,
Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Rumah Sakit Jiwa, Opera Ular
Putih, Semar Gugat, Cinta Yang Serakah, Opera Sembelit, Samson Delilah, dan
Republik Bagong. Semua itu adalah karyanya, yang mendapat sambutan hangat
masyarakat dan pers.
Koma tercatat sebagai kelompok paling produktif di Indonesia. Dalam setahun,
paling kurang dua kali pagelaran. Kalau tidak memainkan naskah sendiri, ya
memain karya-karya adaptasi penulis dunia. Diantaranya Woyzek/ Buchner, Opera
Ikan Asin/ Bertolt Brecht, Opera Salah Kaprah/ Shakespeare, Opera Para Binatang/
George Orwell, Orang Kaya Baru/ Moliere, Wanita-wanita Parlemen/ Aristophanes,
dan Perkawinan Figaro/ Beaumarchaise.
Didalam almari Nano, panggilan akrabnya, tersimpan berbagai penghargaan dari
dalam negeri: untuk bidang penulisan skenario sandiwara, film, sinetron, drama
anak-anak maupun novel. Termasuk Hadiah Seni 1993, dari Pemerintah Republik
Indonesia melalui Departemen P dan K. Serta Penghargaan Sastra Indonesia 1998
dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Nano, juga aktif dalam pergaulan internasional. Baik dalam bentuk ikut festival,
seminar, hingga ikut organisasi. Diantaranya International Writing Program di
University of Iowa, Iowa City, USA, 1979. Bicara tentang Teater Modern Indonesia
keliling kampus Australia, 1992. Partisipan aktif Session 340, Salzburg Seminar
, Austria. Sejak 1997, menjadi anggota aktif Asia Arts Net / AAN, sebuah
organisasi pertunjukan yang beranggotakan 20 kota penting di Asia.
Dari luar negeri ia menerima beberapa penghargaan. Antara lain SEA Write Award
dari Raja Thailand, untuk karyanya Semar Gugat, 1998. Dan atas undangan Theater
Practice Singapore, menyutradari lakon karyanya -Sampek Engtay - di Singapura,
tahun 2000, dengan pemain seluruhnya dari Singapura. Karyanya Opera Kecoa, tahun
1992 dimainkan di Australia oleh Belvoir Theater, sebuah grup garda depan di
Sydney, Australia. Selain menekuni dunia kesenian, Nano sejak 1970-an aktif di
dunia wartawan. Ikut mendirikan majalah Zaman (1979) dan bekerja sebagai
redaktur sampai 1985. Juga ikut mendirikan majalah MATRA, 1986, dan bekerja
sebagai Pemimpin Redaksi majalah itu hingga Maret 2001.
Sandiwara Nano-Teater Koma umumnya mengolah isu sosial politik (yang sensitip)
disajikan dengan cara guyonan. Hal itu dipengaruhi oleh sikapnya sebagai
wartawan yang selalu kritis, dan sebagai orang Cirebon yang suka humor. Tak
urung pada jaman Orde Baru tersandung pencekalan oleh pihak berwajib. Antara
lain : Maaf-maaf (1978, di Bandung, Yogyakarta, Surabaya), Sampek Engtay (1989,
di Medan Sumatera Utara), Suksesi dan Opera Kecoa (1990, keduanya di Jakarta).
Rencana pentas Opera Kecoa ke empat kota Jepang tahun 1992 batal. Hingga 1998,
setiap kali mau pentas, Teater Koma harus imendapatkan ijin khusus polisi. Namun
dengan datangnya reformasi 1998, yang menumbangkan Soeharto bersama rejim Orde
Baru, keadaan berubah. Koma tidak memerlukan ijin khsusus lagi. Bahkan ketika
mementaskan Republik Bagong di TIM belum lama ini, Presiden Abdurrahman Wahid
menyaksikan.
Informasi:
HumasAS12001, Yusuf Susilo Hartono
T: 0816.483.99.15 E: yshartono@yahoo.com

Harga Sebuah Keterampilan

Harga Sebuah Keterampilan

SEORANG teman pernah menanyakan, kenapa saya tidak memproduksi pertunjukan di Solo? Jawab saya, tidak perlu lagi. Kota Solo ini, oleh sebab kerusuhan (Mei 1998), telah menyuguhkan pertunjukan drama yang luar biasa, melebihi drama apa pun," Sardono W Kusumo (57). "Warga Solo yang mendadak punya 'kebiasaan' suka membakar kota telah menjadi aktor-aktor. Dan kota ini menyajikan sebuah 'seni instalasi' yang dahsyat yang tak memerlukan lagi sentuhan seorang seniman instalasi."
Pernyataan Sardono itu merefleksikan keprihatinan seorang seniman yang "mendengar jerit hewan yang terluka". Ia terusik oleh perilaku masyarakat belakangan ini yang sangat mudah mengekspresikan dirinya melalui aksi kekerasan. Apalagi isu Kota Solo sebagai "sarang teroris" dan terkait dengan jaringan Al Qaeda, telah menimbulkan kegalauan bagi Sardono, dan sesungguhnya juga kegalauan masyarakat setempat.

Opera Diponegoro (OD) yang digelar 1-5 Maret 2002, di luar dugaan, ternyata mampu merebut animo publik. Selama lima malam itu, Auditorium RRI Surakarta yang berkapasitas 540 tempat duduk selalu dipadati penonton. Malahan banyak yang tak kebagian tiket, sehingga panitia acap "didemo" penonton.

Sukses pertunjukan itu tentu tak lepas dari promosi, di antaranya memanfaatkan relasi Sardono sendiri yang luas. Sejumlah kelompok profesi datang berombongan dari Jakarta, termasuk beberapa selebriti dan intelektual. Sejumlah budayawan datang dari Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Surabaya. Pementasan itu juga menjadi bahan kajian peserta Halaqah Tarjih II yang diadakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pengalaman estetik

OD barangkali bisa disebut sebagai salah satu karya puncak Sardono, selain Dongeng dari Dirah (1974). Pentas ini merupakan akumulasi pengalaman estetik dari perjalanan kesenian Sardono selama 30 tahun. Pola manajemen kesenian yang profesional, dan sikap perfeksi Sardono, menjadikan seluruh ide estetik sampai ke detail pemanggungan terasa mantap dan menumbuhkan apresiasi.

Salah satunya adalah kemauan Sardono untuk membaca literatur tentang Diponegoro (1787-1855). Tak kurang dari 20 naskah/buku telah dilahapnya. Latar studi seperti ini saja merupakan nilai lebih dalam sebuah karya seni. Maka tak heran, Sardono ngelotok soal Diponegoro.

OD juga menunjukkan hasil sebuah craftsmanship (keterampilan), yang jarang kita temukan dalam seni panggung di Indonesia. Seperti penggunaan tabir depan (front drop) berupa lukisan Penangkapan Diponegoro, hasil rekonstruksi karya Raden Saleh. Lukisan berukuran 14 x 7 meter itu, selain indah, monumental sekaligus berfungsi simbolik: Seluruh pementasan berlangsung di sebaliknya, sebuah sejarah.

Seperti Dongeng dari Dirah, kontribusi para pemain/ penari dalam OD juga cukup besar. Seperti Hanindawan yang menyusun dialog pada adegan wartawan dan serdadu Belanda, atau adegan para magersaren oleh almarhum Bambang Widoyo Sp. Adegan-adegan "prosaik" itu melengkapi adegan-adegan tari yang lebih "puitis", dan berfungsi merangkai adegan sehingga pertunjukan terasa variatif, komunikatif dan tak membosankan.

Pada adegan-adegan tari, OD menyuguhkan komposisi-komposisi yang bukan saja artistik tetapi juga metafora yang menyentuh: Adegan wanita menari di atas punggung lelaki dengan latar instrumen rebana-rebana besar. Keindahan yang memikat mata tampak ketika Diponegoro menari di tengah kain lebar yang digerak-gerakkan untuk melukiskan samudera.

Di situ juga tampil Ratu Laut Selatan yang cantik dengan rambut panjang tergerai, wanita penggoda dengan gerakan yang sensual, dan tembang-tembang ageng yang terasa menghanyutkan. Adegan penutup pun tampak absurd, yaitu ketika digambarkan arwah (?) Diponegoro menuju kepada keabadian, mengingatkan kita pada pelukisan sufistik. (asa)

>Sabtu, 9 Maret 2002

Pramudya Ananta Toer di New York.

Pram

Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.

Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.

Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya—dan ia disambut.

Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".

Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang ayah".

Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.

George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.

Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?

Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.

Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."

Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.

Goenawan Mohamad

GURITAN

GURITAN
Oleh :
Bersihar Lubis


Pesona Kata dari Besemah
Industri hiburan menyerbunya hingga sekarat. Seorang pakar Amerika tertarik menerjemahkannya.
Kalau kami di Pagar Alam,
televisi terang siang dan malam,
tapi rasa di hati masih kasihan,
rakyat di Jarai belum kebagian,
gambarnya masih 'ndak karuan,
padahal perlu pemerataan,
tolonglah disaksikan,
oleh Bapak Menteri Penerangan
MENIKMATI lantunan guritan oleh M. Saman Loear itu, Presiden Soeharto serta sejumlah menteri tertawa dan bertepuk tangan. Sastra lisan yang disindirkan di depan Pak Harto dan rombongan yang berkunjung ke Muara Enim, Sumatera Selatan, Mei 1991, itu menggelitik hati. Lucu, tapi tanpa membuat kuping merah.

Kini kekayaan seni suku Besemah dari Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, itu tampil pula dalam Festival Sriwijaya di Palembang, 6-20 Juni. Seperti halnya hikayat Betawi, didong Aceh, takna' lawe' Dayak, wor Irian Jaya, ataupun gegur itan Jawa, guritan adalah seni bertutur berbentuk prosa liris dengan langgam yang purba tapi menarik.

Tapi ketika ekses pembangunan datang, sastra lisan pun sekarat diserbu beragam industri hiburan. Kehadiran guritan di Festival Sriwijaya pun -jika mau jujur- tak lebih dari sekadar sebuah seremoni kenangan. "Pada suku Besemah pun tak lagi bergaung," kata Saman, penggurit berusia 67 tahun, kepada Budi Pristiwanto dari Gatra. Ican, seorang dara Lahat, malah berkata, "Oh, guritan, saya pernah mendengar kata itu, tapi tak tahu seperti apa."

Guritan pernah populer saat selepas panen, atau kala kenduri pernikahan atau ketika purnama menerangi jagat Besemah pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Ada yang berupa ajaran moral, nasihat, adat, perjuangan, kepahlawanan, dan kisah kerajaan masa silam -berbeda dengan guritan berbahasa Indonesia yang dimodifikasi Saman tadi. Ceritanya pun panjang sehingga menghabiskan waktu dari usai magrib sampai lewat tengah malam.

Dulu pertunjukan dilakukan penggurit sembari duduk bersila, dengan tangan berlipat di atas sambang -alat dari bambu kering berdiameter 9 sentimeter sepanjang dua jengkal. Alat itu dilubangi persis di depan mulut penggurit agar suaranya bisa bergaung. Bagai seni suara murni, penggurit mengolah suaranya demi memuaskan indra pendengaran penonton. Meskipun tengah melukiskan suasana gemas atau kecut, laku fisik dan ekspresi wajah penggurit datar saja.

Modal penggurit adalah napas panjang dan kelancaran bertutur. Warna suaranya yang monoton sesungguhnya melodius, dan bergema bagaikan perpaduan membaca mantra, senandung, dan gumam. Teramat penting adalah teknik mengatur suara dan napas dalam melantunkan bait-bait cerita yang panjang. Bayangka n jika setiap bait bisa terdiri dari 10 hingga 20 baris, sedangkan setiap baris terdiri dari 3 hingga 6 kata.

Jika kira-kira napas tak sampai, maka bait tersebut diakhiri dengan ucapan ai bak titik atau koma dalam tulisan. Tapi kata ai itu tak diucapkan saat napas tersengal-sengal. Penggurit ulung memakainya kala napas hanya cukup untuk satu baris lagi -itu pun tidak pada posisi cerita di "tengah jalan". "Agar plot kisah tak terputus tak keruan," kata Saman Loear.

Amir Hamzah, anggota DPRD Lahat, masih terkenang betapa guritan bisa menghanyutkan perasaan pendengar. Gaek berusia 74 tahun ini masih teringat pada sebuah cerita sedih, yang bisa membuat mata penonton sembab. Jika ada perseteruan, lalu tokoh putih dikalahkan tokoh hitam, penonton bisa gemas. "Tanpa disadari, tangan kita bisa meninju lantai," kata Amir. Cerita lucu membuat orang terkekeh-kekeh pula.

Kekuatan guritan adalah pada pembacaannya. Syairnya mungkin bisa menjemukan -bahkan juga bagi komuni tas Besemah masa kini- karena logat dan semantiknya datang dari ruang dan waktu yang jauh di masa lalu. Tetapi kita boleh bertanya: kenapa teks-teks guritan dari mulut penggurit bisa bertenaga, dan bahkan mempesona pendengarnya di masa lampau?

Realitas pada masa silam itu agaknya bisa menjadi ufuk bagi para penyair, atau pembaca cerita pendek dan bahkan penulis dialog sinetron, agar kata-katanya bisa pula kuat meyakinkan pendengar. Boleh pula menjadi referensi bagi pejabat yang berpidato, teks iklan di televisi, atau tulisan di pelbagai media cetak, agar tak lagi hambar dan kehilangan daya pikat.

Mungkin karena pesona guritan itulah Saman dan antropolog William Collins Ph.D, dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, mentranskripsikan satu naskah guritan bertajuk Raden Suane Tanjung Larang setebal 442 halaman ke dalam bahasa Besemah dan Inggris pada 1990. Orang asing jauh-jauh datang menengoknya, sementara kita baru mengundangnya ke sebuah festival, yang semoga tak "hura-hura" belaka.


Nomor 30/III, 14 Juni 1997
www.gatra.com

SENI DAN SUBVERSI

SENI DAN SUBVERSI

Filsafat harus menjadi teoretis, demikian tampaknya gagasan Marcuse. Sebagai seorang neo-marxis, bisa dikatakan, gagasannya ini menyimpang dari apa yang diyakini Karl Marx, filsafat harus menjadi praksis. Penyimpangan ini bagai mengembalikan filsafat dari kaki Marx ke kepala Hegel.

Herbert Marcuse adalah murid Heidegger, seorang pemegang dualisme dalam filsafat sejarahnya. Heidegger secara radikal memisahkan ontologi dari yang ontis, filsafat dari ilmu-ilmu positif, yang otentik dari yang tidak otentik, yang elit dari yang massa, dan sebagainya -berbeda dengan Lukacs yang menolak pemisahan semacam itu dengan filosofi totalitasnya.

Memang, kalau menyelami artikel-artikel Marcuse, semua ditulis dalam level konseptual dan tataran filosofis, melampaui analisis historis yang konkret. suatu ranah filosofis di mana Plato-Descartes-Kant pernah hidup di sana. Bahkan, Lucien Goldmann mengatakan bahwa ciri khas Marcuse dibanding dengan para tokoh sekolah Frankfurt lainnya adalah karakter kritis dari filsafat idealisnya.

Dengan karakter filsafatnya yang idealis, Marcuse menempatkan dirinya pada posisi utopis. Bahkan dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1973 yang berjudul "Filsafat dan Teori Kritis", Marcuse menulis, "Andaikan kebenaran tidak dapat direalisasikan dalam peraturan sosial yang ada, ia akan selalu muncul dalam bentuk utopia. Transendensi semacam itu tidak berbicara melawan kebenaran, tetapi berbicara untuk kebenaran. Dalam jangka waktu yang lama sekali, elemen-elemen utopis telah menjadi bagian yang paling progresif dalam filsafat. Elemen-elemen tersebut mengkonstruksi negara yang lebih baik, akan kemungkinan kenikmatan yang paling besar, akan kebahagiaan yang penuh, akan kedamaian abadi, ......"

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adalah apakah Marcuse berjalan melampaui Ernst Bloch, yang utopis itu? Jawabannya tidak sepenuhnya. Sebab, Bloch membangun suatu utopia yang optimis sementara Marcuse (termasuk Horkheimer dan Adorno) membangun suatu utopia kritis-pesimistis. Utopia Bloch mengimplikasikan kritik terhadap situasi yang ada saat ini, sementara kritisisme realistis dari Marcuse memasukkan ide-ide tentang masyarakat di masa depan yang bebas dari penindasan dan situasi yang sama ssekali berbeda dengan masyarakat sekarang ini.

Masyarakat satu dimensi
Mengapa Marcuse harus utopis? Atau mengapa filsafat harus menjadi teoretis? Jawabannya karena kapitalisme telah berkembang jauh meninggalkan gagasan-gagasan Marx tentang revolusi proletariat. Kapitalisme telah melalui fase krisis, yakni gugurnya kapitalisme liberal dan monopolistik, diganti kapitalisme korporatis, suatu atmosfer dunia kapitalisme yang ditandai dengan masyarakat konsumtif, masyarakat ahistoris, masyarakat teknokratis. Masyarakat ini diciptakan oleh revolusi industri kedua.

Maka, Marcuse dalam tulisannya The Obsolescence of Marxism (1996), berargumentasi bahwa dibutuhkan suatu sosiologi marxian yang baru. Sebab, ternyata gagasan Marx tentang karakter revolusioner dari kelas proletar telah digagalkan sejarah. Kelas pekerja dalam kapitalisme lanjut tidak lagi mempunyai potensi revolusioner. bahkan, sistem nilai produktivitas telah menjerat proletar ke dalam sistem itu sendiri.

Analisis kritis Marcuse atas masyarakat yang sedang dihidupinya dapat kita simak dalam bukunya One-Dimensional Man. dalam bukut itu, Marcuse berangkat dari asumsi bahwa masyarakat telah terdominasi oleh teknologi menjadi masyarakat teknokratis. Menurut Marcuse, dominasi tersebut melahirkan empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol yang baru. Kedua, tertutupnya dunia politik. Ketiga, desublimasi represif. Dan, keempat, hilangnya fungsi kritis.

Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk kontrol baru adalah hadirnya teknologi yang superior atas kehidupan manusia. Pada tataran pertama, memang manusialah yang menciptakan teknologi. Akan tetapi karena keterbatasan manusia akan kemampuan tenaganya dan juga tuntutan efisiensi, maka manusia menggantungkan diri pada kekuatan mesin. Padahal, kita tahu teknologi itu otonom pada dirinya sendiri. Artinya manusia harus tunduk pada sistem mesin itu bahkan beradaptasi dengan mempelajari dan menyesuaikan irama kerjanya dengan irama kerja mesin. Sedangkan yang dimaksud dengan ketertutupan dunia politik adalah tidak adanya lagi suatu ruang untuk mengadakan tawar-menawar dengan mesin, karena manusia sekarang menghamba kepada irama sistem mesin itu.

Sisi lain, sistem lembur menyebabkan manusia tidak lagi mempunyai waktu luang untuk berefleksi dan memikirkan situasinya secara kritis. Bentuk ketiga adalah desublimasi represif. Artinya manusia bisa memenuhi kebutuhan melalui produk-produk yang dihasilkan oleh teknologi. Padahal, menurut Marcuse, kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan palsu (false need) yang sengaja diciptakan dengan menggunakan dunia iklan (advertising).

Yang dimaksud dengan kebutuhan palsu adalah suatu kebutuhan yang tidak muncul dari dalam sendiri seseorang secara murni tetapi dimasukkan secara paksa (imposed) dari luar. Sementara yang dimaksud dengan hilangnya fungsi kritis adalah hilangnya kemampuan manusia untuk menindak sistem yang ada. Penyebabnya, perbedaan antara buruh dan majikan tidak selebar dulu. Dengan kemajuan teknologi, hidup ini sangat berkelimpahan. Maka, daripada melakukan perubahan, lebih baik memberlakukan sistem yang sudah enak. Berpikir yang benar diyakini sebagai berpikir sesuai dengan sistem yang ada. Bahkan bahasa tidak lagi kritis karena telah dimanfaatkan, membantu sistem yang ada, misalnya lewat bahasa iklan yang persuasif.

Setelah menganatomi situasi masyarakatnya, Marcuse membedah pola pikir masyarakat itu. Dia menawarkan dua istilah, yaitu pikiran positif (afirmatif) dan pikiran negatif. Dalam masyarakat teknokratis, manusia tidak bisa lagi membedakan yang salah dan yang benar dalam pikiran. Yang digunakan adalah logika formal Aristoteles yang lebih memprirotaskan logika kelurusan, bukan logika material. Dalam logika ini, tidak dipedulikan apakah isi sesuai dengan kenyataan atau tidak. Logika formal kehilangan fungsi kritisnya. Pemikiran negatif hilang di hadapan totaliternya teknologi yang mampu memuaskan kebutuhan hidup manusia.

Rasionalitas teknologis mengubah pemikiran negatif menjadi positif. Nalar bukan lagi alat pembebasan seperti diproklamasikan oleh proyek pencerahan tetapi menjadi alat penindasan. Ada suatu dehistorisasi nalar. Oleh karena itu, menurut Marcuse, filsafat harus menjadi teoretis, mengabstraksi, sehingga mampu menjalankan fungsi kontrol. Nalar harus mampu membedakan antara realitas yang sejati dengan realitas palsu. Atau mengutip perkataan Whitehead, nalar bertugas mempromosikan seni hidup, mengeasi, dan mampu berpikir kritis.

Manusia tinggal satu dimensi. Padahal, semenjak Pascal sampai Kant, Hegel dan Marx, filsafat dialektis telah menyuratkan manusia dalam dua dimensi, dimensi adaptasi terhadpa realitas dan dimensi transendensi dari realitas, yang nyata ada dan yang mungkin ada. Akan tetapi, sekarang, Marcuse menunjukkan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang terstratifikasi, suatu kondisi masyarakat yang meningkatkan standar hidup dan memanipulasi pemikirannya sehigga lebih mudah beradaptasi, dan dengan demikian mengurangi dorongan untuk mentransendensi realitas. Kreativitas dibunuh oleh sistem sosial. Tinggallah manusia satu dimensi, yang enak, yang hanya tahu bagaimana mengkonsumsi.
Kebudayaan yang menindas
Menghadapi masyarakat yang tinggal satu dimensi itu, maka sekitar tahun 1950-an, Marcuse menyarankan agar teori marxian menggabungkan analisis kritisnya dengan psikoanalisis dari Freud. Alasannya, ketika kaum proletar tidak lagi bisa diharapkan menjadi pengembang kebebasan, perubahan radikal hanya bisa dilakukan lewat dekonstruksi psikis. Seperti halnya Benjamin, Marcuse menggunakan istilah freudian tentang memori untuk mengidentifikasi karakter fundamental yang progresif dalam kesadaran sejarah. Bagi Marcuse, ide freudian tentang memori menawarkan suatu kenangan akan kemampuan dan kapasitas yang hilang dari potensi kreatif manusia yang sejati. Dalam Eros and Civilization, Marcuse menulis bahwa memori itu mengandung nilai-nilai kebenaran. Nilai kebenarannya terletak dalam fungsi khusus memori untuk menyimpan janji-janji dan potensi-potensi yang telah dikhianati dalam individu yang dewasa dan beradab ini, tetapi memori itu tidak sepenuhnya terlupakan.

Lebih lanjut dalam Eros and Civilization, Marcuse menunjukkan relasi antara masyarakat dengan aspirasi individu. Menurut Freud, Marcuse menampilkan konflik antara dorongan instingtual (libido dan thanatos) atau prinsip kesenangan (id) dengan organisasi sosial atau prinsip realitas (ego). Prinsip realitas itu menindas dorongan-dorongan instingtual (prinsip kesenangan). Dalam Freudian, antagonisme ini bersifat ahistoris, sementara Marcuse sebagai sosiolog dan filsuf kebudayaan memberi dimensi historis tanpa -seperti Fromm- meminimalkan pertentangan antara keinginan dasar dengan penindasan sosial. Marcuse mengatakan bahwa represi itu perlu untuk mepertahankan ras manusia itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah apa yang dia sebut dengan surplus represi, yaitu situasi yang melebih-lebihkan represi demi suatu kepentingan kelompok tertentu.

Prinsip realitas tidak lain adalah prinsip produktivitas. Prinsip ini tdiak menjamin terpenuhinya dorongan instingtual tetapi untuk mengejar produktivitas, yakni pertumbuhan ekonomi. Freud sendiri juga menganalisis bahwa kebudayaan terbentuk karena pengorbanan libido. Libido disublimasi ke dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan sosial. Prinsip realitas itulah yang membentuk kebudayaan. Menurut Marcuse, kebudayaan tidak lain hanylah suatu sblimasi, suatu kepuasan yang ditunda. Ia dibentuk dari konflik antara individu dengan lingkungannya, antara prinsip realitas dan prinsip kesenangan sehingga kebudayaan itu bersifat represif.

Prinsip realitas bersifat represif karena adanya kelangkaan dalam dunia ini. Dengan kata lain, prinsip kelangkkan membentuk kebudayaan. Lalu, apabila kelangkaan diatas, apakah kebudayaan tidak represif? Marcuse sendiri berpendapat bahwa prinsip kelangkaan sendiri bukanlah suatu masalah utama. Ia bisa didamaikan dengan prinsip kesenangan (id). Yang menjadi masalaha dalah unsur prinsip realitas yang kedua, yaitu dominasi. Dominasi ini berwujud prinsip prestasi sebagai tuntutan produktivitas. Atas alasan produktivitas, meskipun kelangkaan sudah teratasi, dorongan insting tetap harus dialihkan untuk kerja.

Berhadapan dengan masyarakat satu dimensi dan juga menghadapi kebudayaan yang represif, jelas sekali dalam setiap tulisannya Marcuse selalu ingin mencari jalan keluar. Maka menjadi jelas bahwa Marcuse tidak mampu menemukan kebutuhan radikal untuk perubahan itu dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Ia hanya mengatakan bahwa dalam masyarakat satu dimensi, keinginan untuk perealisasian esensi manusia yang sejati tidak lagi suatu kebutuhan yang dirasakan. Jadi, permasalahan Marcuse adalah bagaimana kebutuhan untuk merealisasikan potensi manusia, suatu kebutuhan yang terekspresikan dan terjerat dalam kebudayaan borjuis klasik, dapat diaktifkan menjadi praksis, yang mempunyai daya subversif.
Seni sebagai jalan pembebasan
Pada tahun 1937, dalam tulisannya The Affirmative Character of cultuer, Marcuse berkeyakinan bahwa revolusi itu masih mungkin. Proletariatlah pengemban misi untuk membebaskan dan merealisasikan keinginan untuk hidup yang lebih baik yang terbui dalam karya-karya klasik dalam kebudayaan borjuis. Akan tetapi proletariat tidak lagi menjadi revolusioner. Seni klasiklah jalan pembebasan itu.

Mengapa seni klasik? Karena seni klasik belum terkontaminasi oleh teknologi. Marcuse berkeyakinan bahwa karya-karya besar seni klasik mempunyai hubungan dialektis yang esensial dengan karakter kehidupan sehari-hari. Kekayaan dari kapasitas kreatif manusia yang ditolak dalam kehidupan kita sehari-hari, mendapat ekspresinya dalam karya-karya seni yang agung. Seni mempunyai kekuatan dengan keabstrakannya, kemampuannya untuk mentransendensi dan memisahkan diri dari kehidupan sosial. Seni adalah suatu karya transendental dalam relasinya dengan kehidupan sehari-hari yang memberinya kapasitas kritis dan menohok.

Marcuse mengatakan ada dua karakter dari seni klasik. Sebagai bagian dari kebudayaan yang mapan, seni itu afirmatif, meneruskan kebudayaan yanga ada. Sebagai alienasi dari realitas yang mapan, seni mempunyai kekuatan menegasi. Seni klasik meskipun ditentukan dan dipertjam oleh nilai-nilai yangs edang berlangsung, tetapi selalu keluar dan mengambil jarak dengan kehidupan sehari-hari. Itu terjadi sebagai konsekuensi dari bentuk artistiknya yang umum. "Seni ditarik keluar dari proses realitas yang berlangsung ini dan selalu berasumsi keberartian dan kebenaran pada dirinya sendiri," kata Marcuse.

Bahkan dalam artikelnya "Art as form of Reality", Marcuse mendemonstrasikan fungsi sosial yang ditunjukkan oleh tradisi dari seni yang otonom. "bentuk ini mengkorespondensikan suatu fungsi baru dari seni dalam masyarakat. Untuk menyediakan suatu 'saat libur', suatu pemecah dalam rutinitas keseharian yang mengerikan untuk menghadirkan sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih dalam, dan mungkin yang lebih benar dan memuaskan dalam karya keseharian dan semata-mata enak dan karena itu sekadar kenikmatan daging.... Seni bukanlah suatu nilai yang digunakan untuk dikonsumsi, ... kegunaannya adalah untuk jiwa atau pikiran yang tidak memasuki tingkah laku normal manusia."

Seni selalu mempunyai otonomi pada dirinya sendiri. Otonomi itu adalah karakter seni yang selalu ingin mengekspresikan dan menyimpan kerinduan akan prealisasian potensi-potensi kreatif manusia. Akan tetapi dalam tradisi kebudayaan, ekspresi akan kebutuhan itu telah dipatahkan dalam praksis hidup sehari-hari, dan karenanya bersifat konservatif. Dengan menambahkan sifat radikal pada ekspresi abstrak ini, maka akan mengimunisasi sistem dari dampak buruk masyarakat satu dimensi.

Dua karakter seni klasik
Marcuse mengatakan bahwa seni klasik itu mempunyai dua karakter, yakni sebagai kekuatan afirmatif (konservatif) dan sebagai kekuatan negasi (progresif). Letak konservatif dari seni klasik terletak di dalam cara pembawaannya yang abstrak. Dengan menawarkan suatu representasi dari situasi sosial yang memberikan ruang untuk mengekspresikan secara penuh potensi kreatif manusia, ada kecenderungan kebudayaan klasik ini menyembunyikan dan mendamaikan penerima dengan kondisi represif yang ada dalam masyarakat kapitalis. Jadi titik konservatifnya terletak dalam ilsinya yang memberikan suatu kepuasan penuh, seakan-akan situasi represif itu sudah didamaikan.

Sedangkan aspek progresif dari seni terletak dalam karakter negasinya, pada kemampuannya untuk selalu menuduh realitas yang jelek yang selalu menghambat prealisasian potensi-potensi kreatif manusia. Perspektif humanistik dari seni klasik menawarkan suatu counter image, terhadap realitas keseharian. Bahkan karakter negasi itu mampu membuat suatu distingsi antara yang esensi dan yang tampak di permukaan, antara yang potensial dan aktual. Seni klasik itu terpisah dari proses-proses produksi itu. Seni menantang monopoli dan realitas yang mapan dengan menanyakan apa itu yang riil.

Seni menciptakan dunia fiksi yang lebih riil dari realitas itu sendiri. Seni mempunyai bahasanya senidir dan mencerahi realitas melalui bahasa yang lain dari bahasa keseharian yang sudah terdistorsi. Kalau toh mau dikatakan bahwa seni itu tidak riil, ketidakriilnnya itu tidak disebabkan karena sesuatu yang "kurang", melainkan karena secara kualitatif ia dianggap "yang lain" dari realitas yang mapan ini. Marcuse sendiri manambahkan bahwa sebagai dunia fiksi (Schein), seni mempunyai kebenaran yang lebih dari realitas itu sendiri. Karena hanya dalam dunia ilusi, sesuatu itu bisa kelihatan seperti apa adanya dan bisa menjadi apa dia itu, tanpa suatu represi dan distorsi. Bagi Marcuse, dunia saat ini adalah tidak benar, salah, realitas yang distortif, realitas satu dimensi.

Proyek yang dicanangkan Marcuse sendiri adalah bagaimana menghapus sisi afirmatif (konservatif) dari seni klasik itu tanpa menghancurkan karakter progresifnya. Menurut Marcuse, kebudayaan yang afirmatif hanya menjadi katup pengaman saja dari keinginan radikal dari seni klasik. Bagi Marcuse, penghapusan kebudayaan yang afirmatif itu bersifat imperatif. "Dengan mengeliminasi kebudayaan afirmatif, penghapusan orgnaisasi sosial tidak akan mengeleminasikan individualitas, tetapi merealisasikannya."

Dalam The Affirmatif Character of Culture, Marcuse berkeyakinan bahwa proletariatlah yang mengemban misi penghapusan kebudayaan afirmatif itu. Proletariatlah yang akan secara praksis merealisasikan keinginan untuk memperkaya eksistensi individu yang terdapat dalam seni yang otentik. Tetapi semenjak tahun 1950-an, Marcuse menghadapi dilema dan mengatakan bahwa kelas pekerja tidak lagi mempunyai karakter revolusionernya. Mulailah Marcuse berusaha keras untuk menemukan jalan bahwa perubahan yang radikal dapat ditempatkan kembali dalam masyarakat satu dimensi ini.

Seni dan subversi dalam masyarakat satu dimensi
Dalam Eros and Civilization, Marcuse berkeyakinan bahwa suatu perubahan radikal bisa terwujud apabila prinsip kesenangan mendapatkan tempat dalam masyarakat satu dimensi ini. "Seni," kata Marcuse, "berkomitmen dengan prinsip kesenangan. Bentuk estetik itu memberikan suatu ekspresi sublimaitf terhadap keinginan-keinginan akan perealisasian potensi kreatif manusia yang selama ini tertekan." Dengan ide tentang libidinous civilization, Marcuse bermaksud bahwa energi yang terbebaskan itu akan menghasilkan suatu erotisasi sensual dalam semua aktivitas. Jadi, kegiatan manusia tidak hanya diukur dari nilai-nilai produktivitas yang represif itu tetapi dari segala sudur akan sisi kreatif manusia.

Sedangkan dalam One-Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan masa (mass culture), aspek progresif dari seni klasik telah dihapus dengan mengubahnya menjadi sekadar industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginannya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, seperti halnya Adrono, memandang rendah kebudayaan populer karena sifatnya konservatif dan berkarakter afirmatif. Kebudayaan populer selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini. Dalam konteks ini, Marcuse berkeyakinan bahwa gerakan kaum muda (youth movement) atau yang lebih dikenal dengan istilah kiri baru (new-left) adalah suatu pengemban misi radikal dalam masyarakat satu dimensi. Kiri-baru berusaha merevitalisasi gerakan sosialis yang dalam stalinisme telah melupakan tujuan utama dari revolusi sosialis yaitu perealisasian esensi manusia. Kiri-baru berusaha membebaskan prinsip kesenangan dan merealisasikannya seperti termaktub dalam Eros and Civilization.

Seni dan subjektivitas
Bisa dikatakan bahwa semua jalan keluar yang diupayakan Marcuse di atas untuk keluar dari masyarakat satu dimensi menemui jalan buntu. Akan tetapi upaya Marcuse untuk menemukan suatu jalan membebaskan keinginan akan kebahagiaan tidak pernah surut. Lihatlah karya puncaknya, The Aesthetic Dimension (1997).

Sejak awal, masalah yang dihadapi Marcuse dalam mencari jalan keluar dari One-Dimensional Society adalah menempatkan keinginan akan perubahan radikal itu dalam tataran praksis. Sebab, dalam One-Dimensional Society tidak bisa lagi ditemukan keinginan itu. Bahkan, Marcuse tidak mapu menggunakan teori estetis dari kebudayaan borjuis klasik dalam tatran praksis perubahan karena itu pun telah dialienasikan dalam masyarakat satu dimensi.

Pada tahun 1977, Marcuse akhirnya menemukan suatu jalan keluarnya, yaitu pada tindakan si penerima (subjek) itu sendiri. Marcuse mencoba membangun suatu analisis praktis mengenai dampak pencerahan atau efek katarsis yang dihasilkan dari seni. "Seni," lanjut Marcuse, "tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia (subjek) yang dapat mengubah dunia."

Selanjutnya, dalam The Aesthetic Dimension, Marcuse menuduh bahwa marxisme ortodoks dengan materialisme historisnya telah mendistorsi dan menenggelamkan subjektivitas (dengan kesadaran dan kecenderungan ketidaksadarannya) ke dalam propaganda kesadaran kelas. Distorsi itu tidak hanya mencakup subjek sebagai ego cogito, subjek yang rasional, tetapi juga kedalaman dunia batinnya, emosinya, dan imajinasinya. "Karena itu prakondisi untuk revolusi telah diminimalkan. Kebutuhan untuk mengadakan suatu perubahan radikal seharusnya diakarkan dalam subjetivitas setiap individu, dalam intelejensia mereka dan hasrat mereka, dalam dorongan mereka dan tujuan mereka."

Teori marxis telah membunuh subjektivitas dan meratakannya dalam realitas masyarakat secara keseluruhan. Subjektivitas hanya menjadi atom dalam objektivitas dan dirampas dalam kesadaran kolektif. Komponen dterministik teori marxis tidak terletak dalam konsepnya tentang relasi antara realitas sosial dengan kesadaran, tetapi dalam reduksinya akan konsep kesadaran yang memenjarakan isi kesadaran individu di tempat porensi subjektif untuk revolusi berada. Dengan dunia batin subjek, manusia keluar dari realitas yang ada dan memasuki suatu ranah atau dimensi lain yang bisa menjadi daya dobrak yang luar biasa untuk menggugurkan prinsip-prinsip realitas (motivasi keuntungan).

Akan tetapi, lari dan mundur ke dunia imajinasi bukanlah suat langkah akhir. Seubjektivitas harus berjuang keras untuk keluar dari labirin dunia batinnya dan mewujudkannya dalam kebudayaan materi intelektual. Dengan membebaskan subjektivitas berarti mengkonstitusi sejarah pada dirinya sendiri, yang tidak identik dengan eksistensi sosialnya. Itu adalah sejarah pertemuan mereka, hasrat mereka, kesenangan dan penderitaan, suatu pengalaman yang tidak didasarkan dalam situasi kelas mereka.

Penulis,
Y. Marwoto,
mahasiswa STF Driyarkara Jakarta.


Basis, No. 09-10, 2001, hlm. 32-37.
Kepustakaan :
Maclntyre, Alasdair, Marcuse, Britain: Collin, 1970.
Marcuse, The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of Marxist Aesthetics, London : Macmillan, 1977.
Johnson, Pauline, Marxist Aesthetic, London: routledge & Kegan Paul, 1984.