Minggu, 26 Juli 2009

Humanisme Kaum Tertindas dalam Cerpen Laskar di Garis Belakang Karya Budi P. Hatees Dadan S. Sanusi

Humanisme Kaum Tertindas dalam Cerpen Laskar di Garis Belakang Karya Budi P. Hatees
Dadan S. Sanusi

1. Komponen Dasar Semiotika Kata semiotika berasal dari kata yunani semion, yang berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda, termasuk pengirim dan penerima tanda. Menurut Made Sukada (1987:35) semiotika sesungguhnya merupakan perkembangan dari strukturalisme sesudah mendapat tanggapan dari teori resepsi. Dengan demikian yang dimaksud dengan semiotika pada dasarnya adalah strukturalisme-semiotik. Semiotika mempunyai dua bapak: yang pertama Peirce (1834-1914) yang membagi tiga kategori pokok: Pertama, perkara tanda dengan ground-nya (dasar penafsiran) yang terbagi atas qualisign, sinsign dan legisign (Zoest, 1993:18-19). Kedua, tanda dengan denotatum-nya (acuan penafsiran) yang terbagi atas ikon, indeks dan symbol (Zoest, 1993:23-25). Ketiga, tanda dengan interpretant-nya (tafsirannya) yang terbagi atas rheme, dicisign, dan argument. Bapak semiotika yang kedua adalah Saussure (1857-1913) yang menemukan pemikiran semiotika dari hasil pengkajiannya terhadap bahasa. Menurut Saussure (dalam Zoest, 1993:145-148) tanda bahasa merupakan kombinasi konsep dan gambar yang berwujud citra akustik.

Dengan demikian tanda terdiri atas penanda (citra akustik) dan petanda (konsep). Petanda dan penanda ini merupakan dua hal yang niscaya hadir dalan sebuah sistem tanda.

2. Analisis Aspek Sintaksis
Untuk sampai pada analisis makna diperlukan analisis aspek sintaksis, semantis dan verbal (Todorov, 1985:12). Analisis aspek sintaksis memperlihatkan bahwa sebuah teks terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan. Melalui telaah aspek sintaksis, karya sastra dapat diuraikan menjadi unsur-unsur terkecil berupa sekuen. Analisis sintaksis akan memperlihatkan alur dan pengaluran. Alur ini diperlihatkan melalui pungsi utama dan pengalurannya melalui analisis sekuen-sekuen. Sedangkan analisis aspek semantis dan analisis aspek verbal tidak dilakukan di gunakan dalam analisis teks ini.

2.1 Struktur Alur
Untuk sampai pada pembicaraan alur, maka terlebih dahulu harus kita analisis fungsi-fungsi utama cerpen ini. Urutan fungsi utama dalam cerpen ini adalah:
1) Kepergian sang tokoh dari desanya untuk merantau ke Jakarta
2) Perjalanan menyebrangi Selat Madura dengan perahu nelayan
3) Perjalanan ke Surabaya dengan sebuah truk pengangkut garam
4) Tindakan sang tokoh setelah sampai di Surabaya
5) Obsesi sang tokoh untuk pergi ke Jakarta
6) Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati
7) Ketidak mengertian sang tokoh terhadap sikap Pasukan Berani Mati
8) Sikap sang tokoh untuk tidak mengemukakan pikiran-pikirannya terhadap mereka
9) Kesibukan saat jadwal keberangkatan tiba
10) Keinginan sang tokoh untuk kembali dan tinggal di kampung halanannya.

Yang menggerakan cerita ini pertama-tama adalah kepergian sang tokoh dari desanya untuk merantau ke Jakarta (f1). Pejalanan menyebrangi Selat Madura dengan perahu nelayan (f2). Kemudian perjalanan ke Surabaya dilakukannya dengan sebua truk pengangkut garam (f3). Setelah sampai di Surabaya, sang tokoh mendaftar jadi anggota Pasukan Berani Mati (f4). Sang tokoh sangat terobsesi untuk pergi ke Jakarta (f5). Dalam beberapa percakapan, sang tokoh berusaha meyakinkan komandan Pasukan Berani Mati (f6). Tetapi sang tokoh tidak mengerti terhadap sikap Pasukan Berani Mati yang rela mati hanya untuk Presiden-nya (f7). Pikiran-pikiran tersebut tidak ia kemukakan kepada mereka, karena tidak mungkin mereka bisa diajak berpikir secara logis (f8). Hingga tibalah jadwal keberangkatan (f9). Tetapi sang tokoh memutuskan untuk kembali dan tinggal di kampung halamannya (f10).

2.2 Struktur Pengaluran
Dari analisis keseluruhan cerpen Laskar di Garis Belakang, dapat ditemukan 18 sekuen induk, termasuk di dalamnya 2 sekuen sorot balik yaitu sekuen yang menampilkan lagi masa lampau dalam satu rangkaian peristiwa dan satu sekuen yang menempilkan peristiwa yang belum terjadi.

Cerita diawali dengan kepergian sang tokoh untuk merantau ke Jakarta (sekuen 1). Sekuen ini meliputi harapan sang tokoh untuk merubah hidupnya dengan pergi ke Jakarta (sekuen 1.1) dan asumsi orang-orang tentang kemudahan hidup di Jakarta asal dekat dengan penguasa (sekuen 1.2). Perjalanan menyebrangi Selat Madura dilakukannya dengan menggunakan perahu nelayan terdapat pada sekuen 2, kecurigaan pemilik perahu terhadap sang tokoh (sekuen 2.1) kemudian ia muntah-muntah dan diuruti oleh nelayan (sekuen 2.2), kecemasan jika perahu itu karam (sekuen 2.3) tetapi akhirnya ia tahu bahwa pemilik perahu itu ternyata seorang pelaut handal (sekuen 2.4) hingga meringkuk di geladak dan menyesali kenekatannya (sekuen 2.5). Sekuen 3 berupa tindakan sang tokoh ketika sampai di darat, sedangkan sekuen 4 berupa pesan dari pemilik perahu untuk tidak melupakannnya kalau ia sudah berhasil di Jakarta. Sang tokoh melanjutkan perjalannannya ke Surabaya dengan menggunakan sebuah truk pengangkut garam (sekuen 5). Sekuen ini memiliki beberapa sekuen lagi sebagai sekuen di bawahnya. Keinginan sopir dan kenek truk untuk dibayarkan makan siang (sekuen 5.1), tetapi ternyata sang tokoh tidak mempunyai uang, hanya selembar nyawa (sekuen 5.2) sehingga mereka bisa memakluminya (sekuen 5.3) dan mereka bercakap-cakap hingga sampai di Surabaya (sekuen 5.4). Kemudian sekuen 6 berupa tindakan sang tokoh setelah sampai di Surabaya dan sekuen 7 berupa deskripsi tentang sang tokoh yang mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati.

Pada sekuen 8, kita akan mendapatkan sekuen sorot balik berupa bayangan sang tokoh tentang orang-orang di kampungnya yang sangat taklit terhadap para Kiai. Semua orang muda mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 8.1) sedangkan sang tokoh menolak alasan-alasan bahwa mereka akan berperang dengan orang-orang jahat (sekuen 8.2) hingga orang-orang kampung curiga dan mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia tidak mau mendaftar menjadi anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 8.3) sehingga akhirnya sang tokoh memutuskan meninggalkan kampung untuk menghindari pertentangan dengan mereka (sekuen 8.4). Keadaan seperti inilah yang menjadikan salah satu sebab keberangkatan sang tokoh dari kampungnya. Lantaran tidak ingin ada persoalan, aku putuskan meninggalkan kampung. Aku tidak tahu mau kemana sampai terpikir untuk ke Surabaya saja. (Hatees, 2001:2).

Humanisme sang tokoh mengatakan bahwa tidak ada para penjahat yang harus ia perangi, tetapi ia juga tidak mau bertentanan dengan orang-orang kampung. Sehinga ia putuskan untuk meninggalkan kampung halamannya. Tetapi setelah samapi di Surabaya, sang tokoh tidak mendapatkan pilihan, selain mendaftar menjadi Pasukan Berai Mati agar bisa sampai ke Jakarta.

Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati tentang kesetiaannya terhadap Presiden terdapat pada sekuen 9, sedangkan sekuen 10 berupa obsesi sang tokoh untuk pergi ke Jakarta. Sekuen Sorot balik berupa bayangan sang tokoh tentang kehidupan di kampungnya akan ditemukan kembali pada sekuen 11. Hampir semua penduduk hidup sebagai buruh tani akibat kebodohan mereka menjual tanah pada orang-orang kota (sekuen 11.1). Sedangkan pada sekuen 11.2, sang tokoh mendeskripsikan penindasan tuan tanah terhadap buruh tani di kampungnya, dan sekuen 11.3 berupa deskripsi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap sang tokoh dan keinginan untuk meninggalkan hidup seperti itu. Sekuen inilah yang menjadi alasan lain sehingga sang tokoh meninggalkan kampung halamannya.

Hidup seperti itulah yang ingin aku tinggalkan. Aku merasa tidak pernah merdeka dalam situasi seperti itu, karena senantiasa selalu jadi sasaran kemarahan pemilik lahan yang merasa hasil budidaya kurang dan menuduhku melakukan korupsi. Aku selalu ingin menghajar para pemilik lahan itu kalau tidak mendengarkan apa kata orang tuaku. Makanya, takut suatu saat aku akan lupa diri dan tidak bisa mengendalikan emosi, kuputuskan meninggalkan semuanya (Hatees, 2001:4).

Sang tokoh adalah representasi dari kaum tertindas. Keberpihakan dan humanisme kaum tertidasnya ia kontadiksikan. Kontadiksi tidaklah berarti sealu mempertentangkan, tetapi kontradiksi bisa dijadikan energi dinamis, dan kontadiksi bisa berarti penyatuan. Kontradiksi yang dimaksud di sini adalah kontradiksi untuk melalukan proses penyatuan antara keberpihakan terhadap kaum tertindas dan humanisme kaum tertindas. Sekuen 12 kembali pada kisah sang tokoh di Surabaya berupa Percakapan sang tokoh dengan komandan Pasukan Berani Mati tentang asal-usul sang tokoh, sedangkan sekuen 13 berupa aktivitas sang tokoh di tempat pendaftaran. Pada sekuen 14 kembali kita temukan sebuah deskripsi pemikiran sang tokoh tentang ketidakmengertian terhadap sikap Pasukan Berani Mati hinga bersedia mati untuk Presidennya. Tetapi sang tokoh memilik untuk tidak mengemukakan pikiran-pikirannya karena tidak mungkin mengajak mereka untuk berpikir secara logis (sekuen 15). Sekuen 16 berupa kesibukan saat jadwal keberangkatan tiba. Komandan Pasukan Berani Mati mengatur keberangkatan (sekuen 16.1) sedangkan sang tokoh terlibat percakapan dengan salah seorang anggota Pasukan Berani Mati (sekuen 16.2) dan tiba-tiba muncul perasaan kecut untuk berangkat ke Jakarta (sekuen 16.3). Sang tokoh meninggalkan tempat pendaftaran dan tidak kembali lagi (sekuen 16.4). Pada sekuen 17 kita akan mendapatkan sekuen yang menampilkan peristiwa yang belum terjadi berupa bayangan sang tokoh tentang nasibnya di Jakarta jika ia jadi pergi. Sebagai sekuen penutup (sekuen 18), keinginan sang tokoh untuk kembali dan tinggal di kampungnya. Secara kuantitatif, sekuan yang menunjukan realitas/peristiwa lebih banyak jika dibandingkan dengan sekuan gagasan/pikiran, yaitu sebanyak 12 sekuen dari 18 sekuen induk. Sedangkan sekuen pikiran hanya 6 sekuen induk dan satu sekuen bagian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar