Minggu, 26 Juli 2009

Harga Sebuah Keterampilan

Harga Sebuah Keterampilan

SEORANG teman pernah menanyakan, kenapa saya tidak memproduksi pertunjukan di Solo? Jawab saya, tidak perlu lagi. Kota Solo ini, oleh sebab kerusuhan (Mei 1998), telah menyuguhkan pertunjukan drama yang luar biasa, melebihi drama apa pun," Sardono W Kusumo (57). "Warga Solo yang mendadak punya 'kebiasaan' suka membakar kota telah menjadi aktor-aktor. Dan kota ini menyajikan sebuah 'seni instalasi' yang dahsyat yang tak memerlukan lagi sentuhan seorang seniman instalasi."
Pernyataan Sardono itu merefleksikan keprihatinan seorang seniman yang "mendengar jerit hewan yang terluka". Ia terusik oleh perilaku masyarakat belakangan ini yang sangat mudah mengekspresikan dirinya melalui aksi kekerasan. Apalagi isu Kota Solo sebagai "sarang teroris" dan terkait dengan jaringan Al Qaeda, telah menimbulkan kegalauan bagi Sardono, dan sesungguhnya juga kegalauan masyarakat setempat.

Opera Diponegoro (OD) yang digelar 1-5 Maret 2002, di luar dugaan, ternyata mampu merebut animo publik. Selama lima malam itu, Auditorium RRI Surakarta yang berkapasitas 540 tempat duduk selalu dipadati penonton. Malahan banyak yang tak kebagian tiket, sehingga panitia acap "didemo" penonton.

Sukses pertunjukan itu tentu tak lepas dari promosi, di antaranya memanfaatkan relasi Sardono sendiri yang luas. Sejumlah kelompok profesi datang berombongan dari Jakarta, termasuk beberapa selebriti dan intelektual. Sejumlah budayawan datang dari Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Surabaya. Pementasan itu juga menjadi bahan kajian peserta Halaqah Tarjih II yang diadakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pengalaman estetik

OD barangkali bisa disebut sebagai salah satu karya puncak Sardono, selain Dongeng dari Dirah (1974). Pentas ini merupakan akumulasi pengalaman estetik dari perjalanan kesenian Sardono selama 30 tahun. Pola manajemen kesenian yang profesional, dan sikap perfeksi Sardono, menjadikan seluruh ide estetik sampai ke detail pemanggungan terasa mantap dan menumbuhkan apresiasi.

Salah satunya adalah kemauan Sardono untuk membaca literatur tentang Diponegoro (1787-1855). Tak kurang dari 20 naskah/buku telah dilahapnya. Latar studi seperti ini saja merupakan nilai lebih dalam sebuah karya seni. Maka tak heran, Sardono ngelotok soal Diponegoro.

OD juga menunjukkan hasil sebuah craftsmanship (keterampilan), yang jarang kita temukan dalam seni panggung di Indonesia. Seperti penggunaan tabir depan (front drop) berupa lukisan Penangkapan Diponegoro, hasil rekonstruksi karya Raden Saleh. Lukisan berukuran 14 x 7 meter itu, selain indah, monumental sekaligus berfungsi simbolik: Seluruh pementasan berlangsung di sebaliknya, sebuah sejarah.

Seperti Dongeng dari Dirah, kontribusi para pemain/ penari dalam OD juga cukup besar. Seperti Hanindawan yang menyusun dialog pada adegan wartawan dan serdadu Belanda, atau adegan para magersaren oleh almarhum Bambang Widoyo Sp. Adegan-adegan "prosaik" itu melengkapi adegan-adegan tari yang lebih "puitis", dan berfungsi merangkai adegan sehingga pertunjukan terasa variatif, komunikatif dan tak membosankan.

Pada adegan-adegan tari, OD menyuguhkan komposisi-komposisi yang bukan saja artistik tetapi juga metafora yang menyentuh: Adegan wanita menari di atas punggung lelaki dengan latar instrumen rebana-rebana besar. Keindahan yang memikat mata tampak ketika Diponegoro menari di tengah kain lebar yang digerak-gerakkan untuk melukiskan samudera.

Di situ juga tampil Ratu Laut Selatan yang cantik dengan rambut panjang tergerai, wanita penggoda dengan gerakan yang sensual, dan tembang-tembang ageng yang terasa menghanyutkan. Adegan penutup pun tampak absurd, yaitu ketika digambarkan arwah (?) Diponegoro menuju kepada keabadian, mengingatkan kita pada pelukisan sufistik. (asa)

>Sabtu, 9 Maret 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar