Minggu, 26 Juli 2009

Sastra Arab dalam Karya Goethe Aguk Irawan Mn.

Sastra Arab dalam Karya Goethe
Aguk Irawan Mn.

Bagi yang ingin memahami penyair
Maka pergilah ke rumah-rumah mereka
Mereka akan memilih hidup di negri Timur
Tatkala mengetahui bahwa yang lama, itu juga yang baru

Goethe, Penggalan Syair “Permintaan Maaf”

Sangatlah besar penghargaan Goethe terhadap karya satra Arab, membuktikan kedekatannya secara pribadi dengan warna dan nilai sastra maha tinggi ini. Dalam beberapa puisi, Goethe terkesan mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada bangsa Arab karena cukup mengilhami dan mengkontribusikan warna sastra tersendiri dalam karya-karyanya.

Perkenalan Goethe dengan sastra Arab, secara intensif bermula semenjak ia sebagai mahasiswa di Universitas Leipzig, tahun 1761 atau pertengahan abad ke XVIII. Saat Barat menyemarakkan studi-studi antropologis dan ekspedisi-ekspedisi geografis ke daratan Arab. Dalam buku ke enam dari “Puisi dan cinta”, Goethe mencatat perhatian besarnya pada hasil-hasil ekspedisi itu. Terutama pada Carsten Neibhur yang pernah megunjungi Mesir, Yaman dan daerah-daerah Arab lainnya (1767). Buku Nibhur yang paling ia kagumi, berjudul “Beschreibungen von Arabien” atau Deskripsi tentang negara-negara Arab, (1767) dan dua jilid buku berjudul “Reisebeschreibung nach Arabein und anderen umliegenden laendern” atau Investigasi deskriptif ke negara-negara Arab dan sekitarnya, (Kophenhagen 1774, 1778). Dua buku ini mengilhami Goethe dalam satu karya drama berjudul “Muhammad” ia tampilkan di theatre Voltaire tahun 1800. Goethe mempelajari kesusastraan Timur, tentunya tidak hanya dari Nibhur, tapi juga dari beberapa pakar kebudayaan Arab lain yang sering ia sebut. Di antaranya Peitro della Valle (1587-1652), Jean Baptiste Tavernier (1605-1689), dan Khususnya Jean Chevalier de Chardin (1643-1713) yang banyak mengumpulkan khazanah sastra arab.

Di Leipzig, Goethe lebih mencurahkan perhatiannya pada sastra petualangan. Saat itulah Goethe mulai berkenalan dengan Al-Mutanabbi, penyair sufi populer di kalangan Islam, dari satu kasidah yang diterjemahkan Johann Jacob Reiske, seorang pakar bahasa arab pada masa itu. Perhatian Goethe pada sastra Arab tidak di Leipzig saja, namun kedekatannya dengan Timur berkembang ketika di Strassburg, di Universitas ini ia bertemu Johann Gottfried Herder, kakak kelasnya yang juga seorang pakar kebudayaan Timur, Herderlah yang mengarahkan Goethe mendalami bahasa Arab, sastra Arab jahili, sastra Islam dan mempelajari Al-Qur’an.

Meski demikian, tidak banyak yang mengakui kedekatan Goethe dengan dunia sastra timur. Fritz Strich dalam bukunya “Gothe dan Kesusastraan Dunia” (1946. 2. verb. U. erg. Auflage 1957), menyatakan tidak menemukuan bukti empiris pengaruh sastra Arab lama dalam karya-karya Gothe. Tapi bila ditelusuri lebih jauh satu karya monumental Gothe yang ia sebut “Ontologi Puisi Timur”, sangat jelas warna dan nuansa sastra timur terasa mendominasi gaya dan settingnya.

Katharina Momsen, dalam bukunya “Gothe dan Seribu Satu Malam” (1981) mengungkap keterkesanan Gothe akan dunia sastra timur. Ini terlihat dari dialog intensif Gothe dengan karya-karya puisi agung jahili yang diabadikan dengan nama “Mu’allaqaat As-Sab’a” (7 kasidah cinta emas) dan salah satu cerita rakyat (safar) Arab yang dikenal dengan “Seribu Satu Malam”. Demikian juga kagumanya akan sederet nama penyair Arab jahili, Imru Al-Qays, Amru bin Kultsum, Antara, Al-harits, Hatim Al-Tha’i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi’ah, Tharfa bin ‘Abd, dan Zuhair bin Salma. Untuk itu, tulisan singkat ini mencoba menggali warna dan ruh sastra arab dalam karya-karya Gothe, mungkinkah hal ini mengindikasikan lintas budaya Arab khususnya Islam dengan kebudayaan pada masa Gothe.

Goethe dan Seribu Satu Malam
Tidak diragukan lagi hubungan erat Gothe dengan cerita rakyat ini. Satu khazanah sastra yang mendapat penghargaan besar dari bangsanya sendiri dan diklasifikasikan sebagai salah satu “Buku Ibu” sastra tradisional Arab. Katharina Momsen menyebutkan, kisah ini mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya Gothe. Ia mulai tertarik dengan cerita-cerita itu semenjak kecil dari Ibu dan neneknya. Sehingga wajar kisah sastra milik bangsa Arab ini memiliki tempat tersendiri di hati Gothe. Tidak dari sisi pembahasaan saja, tapi juga isi, pola penulisan dan nilainya.

Dalam beberapa puisinya, Gothe banyak menyebut “Syahrazaad” (tokoh pencerita dalam Seribu Satu malam). Memerankannya untuk mengungkapkan perasaan tertentu. Seseorang yang mengkritisi kumpulan karya Gothe, akan menemui suatu pola penulisan baru yang selalu ia gunakan. Gothe dalam beberapa karyanya sengaja membanding-bandingkan diri kepenyairan dengan Syarazaad, yang dengan begitu ia mendapati sisi-sisi unik kepenyairan dalam karakteristik Syahrazaad. Hal ini sangat mempengaruhi cara penulisan cerita Gothe. Salah satu novel terkenalnya “Wilhelm Meisters Wanderjahre” (Tahun-tahun pengembaraan di Wilhelm Meisters), cukup membingungkan para kritikus yang mencoba mengidentifikasi dasar bangunan dan komposisi cerita. Penulisan novel ini terkesan tidak terikat dengan kaidah tertentu, bebas dan lepas. Sehingga membutuhkan penelusuran lain dari sisi kesatuan cerita dan keterkaitannya satu sama lain. Namun pencarian ini tidak akan menemukan hasil yang tepat, karena dalam menulisnya, Gothe mengakui menggunakan pola penceritaan Syahrazaad dalam Seribu Satu Malam.

Novel ini ia serahkan kepada khlayak tidak dalam bentuk karya lengkap dan tuntas, namun disajikan dalam beberapa edisi dan bersambung. Berbentuk cerber atau drama dalam beberapa babak. Hal ini menurutnya demi menekankan keutuhan isi dan susunan bahasa pada setiap bagian cerita, dengan begitu kalayak akan mendapati kesan tersendiri dalam keindahan bahasa dan isinya. Pola penulisan ini juga ia gunakan dalam “Unterhaltungen Deutscher Ausgewanderten” (Percakapan Para Pengungsi Jerman). Karya ini ia sajikan seperti Seribu Satu Malam, bersambung dan terbagi dalam beberapa edisi. Menekankan hanya satu peristiwa dalam tiap bagian cerita, dan demikian selanjutnya dalam beberapa edisi. Karyanya yang lain dengan pola penulisan yang sama adalah “Puisi dan Hakikat” dan “Selama Perjalanan ke Italia”.

Tentunya keterpengaruhan Gothe oleh Seribu Satu Malam tidak melulu dalam pola penulisan, namun terkadang ia juga meminjam tema, judul cerita dan penokohan dari Seribu Satu Malam. Bahkan dalam satu drama yang ia tulis ketika masih muda berjudul “Fantasi Pecinta”, salah satu tokohnya bernama Aminah, ia ambil dari cerita Seribu Satu Malam. Di sini ia tidak hanya menggunakan nama tokoh, tapi juga memerankan Aminah sesuai setting dan karakteristik yang diperankan dalam Seribu Satu Malam. Nuansa drama ini terkesan disominasi karya sastra milik bangsa Arab itu.

Goethe Dan Sastra Jahili
Orang pertama mengenalkan dunia barat dengan sastra Arab jahili adalah, William Jones (1746-1794), dengan bukunya, “Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex” atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang di terbitkan tahun 1774. Semenjak itu karya ini mewarnai wacanaa sastra Barat dengan bertebarannya bentuk asli juga terjemahan-terjemahannya.

Dalam banyak hal, Goethe nampak mecurahkan segenap perhatiannya pada kreatifitas bangsa Jahili itu. Ini bisa kita baca dari ungkapannya. “Bangsa Arab adalah bangsa yang membangun kebesarannya dari warisan sejarah moyang dan memegang teguh adat istiadat yang mereka anut semenjak dahulu kala.”

Beberapa hal yang membuat Gothe jatuh hati pada sastra jahili. Pertama, ciri-ciri umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan dan cara hidup. Begitu juga ketinggian bahasa yang mampu menghiasi sesuatu menjadi begitu indah dengan bahasa-bahasa singkat. Selain itu, keterpautannya dengan alam, penggambaran tentang gairah hidup, tanggung jawab, keabadian cinta, kesetiaan, pengorbanan, kepatuhan dan keteguhan mereka memegang kepercayaan. Ciri-ciri ini didukung kondisi alam dan bentuk sektarian struktur sosial Arab. Seperti banyaknya pertikaian antar etnis yang memunculkan peran-peran keperwiraan dan kejantanan dalam puisi-puisi jahili. Demikian juga cara hidup nomaden. Sehingga hampir keseluruhan sastra jahili berbentuk sastra petualangan.

Buku Zulikha, yang ia tulis setelah berpisah dengan Marianne Willemer sang kekasih (1815), sangat mirip dengan langgam puisi Imru’ Al-Qays.

26 September 2001


http://www.bumimanusia.or.id/artikel.php?ArtID=560

Tidak ada komentar:

Posting Komentar